BUKU TAMU

NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AHKAM

Senin, 13 Juli 2009

A. Pendahuluan
Pernikahan adalah ajaran Islam yang pokok yang ditegaskan sebagai sunnah Rasul, yang mana barangsiapa menolaknya maka dia tidak termasuk golongan Rasul. Tujuan Islam mensyari'atkan pernikahan, antara lain, adalah agar pasangan suami isteri dapat hidup tenang dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan tenang diliputi cinta dan kasih sayang akan memudahkannya untuk melaksanakan misi penciptaan sebagai manusia, yaitu abdullah dan khalifatullah.
Untuk itu, Islam mengajarkan cara bagaimana membentuk rumah tangga yang tenang penuh dengan cinta dan kasih sayang yang dirumuskannya secara garis besar dengan saling mempergauli dengan baik (بالمعروف ( معا شرة. Namun realitasnya, seringkali kita menemukan gangguan¬ gangguan yang rnenyebabkan tidak tercapainya tujuan tersebut (مودة ورحمة (. Diantara gangguan itu adalah perilaku nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Dalam diskursus kesetaraan gender, sering dilontarkan kritik, bahwa dalam ayat-ayat mengenai nusyuz.: secara tidak langsung Islam melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu, kekerasan suami kepada isteri. Benarkah kritik tersebut ? Bagaimana sesungguhnya tuntunan Islam menghadapi tingkah nusyuz ? Penulis tertarik untuk membahas topik nusyuz dalam perspektif tafsir ahkam, sudah tentu, dengan memperhatikan kode etik penulisan ilmiyah, jujur, kritis. dan terbuka. Menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan diri, penulis berharap koreksi dari masukan baik dari pengasuh maupun kolega yang budiman.

B. Ayat-Ayat Nusyuz
Di dalam al-Qur'an terdapat dua ayat yang menjelaskan nusyuz, yaitu surah al-Nisa' (4) ayat 34 dan ayat 128 :
1. Surah al-Nisa' ayat 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".
2. Surah al-Nisa' ayat 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿128﴾
Artinya : "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

C. Makna Mufradat
قوامون : Sighot mubalaghoh dari kata قوام yang berasal dari kata قام , yang berarti melaksanakan suatu urusan dengan sempurna, mernenuhi segala rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya. Kalau ia rnelaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-uiang maka la dinamai قوام, sebagaimana orang salat. Seringkali kata ini diterjemahkao pemimpin. Kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
قانتات : Wanita yang terus menerus taat. Artinya selalu taat kepada Allah dan suaminya.
حفظت للغيب: Wanita yang menjaga diri dan kehormatannya.
نشوز : نشوز هن arti bahasanya adalah ارتفاع (ketinggian). Wanita yang nusyuz adalah wanita yang tinggi hati kepada suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya dan yang benci kepada suaminya.
َواهْجًرًوْ هًنَّ فِي الْمَضَاجِعِ : Tinggalkanlah mereka (isteri) dari tempat tidur.
وَإِنَّ امْرَأَةً خَافَت: Jika seorang perempuan khawatir terjadinya hal-hal yang tidak disukai dari suaminya.
وَالصًّلحً خَيْرً : Perdamaian itu lebih baik dari pada berpisah, nusyuz dan berpaling.

D. Sebab Turunya Ayat
Sebab turunya surah al-Nisa' ayat 34 adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-hasan ak-Basri, sebagaimana berikut :
و قال الحسن البصري : جاءت لمرأة إلى النبى صلى الله عليه وسلم تشكواان زوجها لطمها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "القصاص" فانزل الله عز وجل (الرجال قوامون على النساء) الأية بغير قصـاص.

Artinya : "berkata al-Hasan al-Basri : "Datang seorang peempuan kepada Nabi SAW mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "wajib qisas" kemudian turunlah ayat 'Laki-laki adalah pemimpin perempuan' sampai akhir ayat : Maka pulanglah perempuan itu tanpa qisas".
Selain itu ada riwayat dari sahabat Ali. R.a, sebagai berikut :
عن على قال أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل من الأنصار بإمرأة له فقالت : يا رسول الله أن زوجها فلان الأصاري وأنه ضربها فاثر وجهها فقا رسول الله صلى الله عليه وسلم "ليس له ذلك" فأنزل الله تعالى (الرجال قوامون على النساء) أي فى الا دب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اردت إمرا واراد الله غيره.
Artinya : "Dari Ali r.a berkata : Serang laki-laki Ansar dating kepada Rasululllah SAW bersama isterinya. Kemudian isteriya berkata : "Wahai Rasulullah sesungguhnya suamiya fulan bin fulan memukul isterinyasampai membekas di wajahnya", kemudian Rasulullah bersabda, "Suaminya tidak boleh berlaku demikian". Kemudian turunlah ayat 'Laki-laki pemimpin atas perempuan….' Maksudnya di dalam mendidik, kemudian Rasulullah SAW bersabda, " Aku menghendaki suatu hal sedangkan Allah menghendaki yang lain"
.
Dari dua riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sabab nuzul ayat adalah berkenaan dengan urusan keluarga,
konflik suami isteri sampai suami memukul isterinya, tidak diperlakukan qisas. Dalam hal ini tentu pemukulan itu dalam rangka mendidik dan menyembuhkan perilaku nusyuz bukan untuk menyakiti, apalagi melampiaskan amarah, sebagaimana akan dijelaskan dibawah nanti.
Adapun sabab nuzul surat al-Nisa' ayat 128, yaitu ayat yang berkenaan dengan nusyuz-nya suami adalah :
إنها نزلت بسبب سودة بمت زمعة قال : جشيت سودة بمت زمعة ان يطلقها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت : لاتطلقنى واسكنى واجعل منك لعانشة، ففعل، فنزلت "فلا جناح عليها أن يصلحا بينهما صلحا"
Artinya : "Sesunguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kasus Saudah bin Zam'ah, ia khawatir Rasulullah menceraikannya, kemudian ia berkata : jangan menceraikan aku dan berikanlah lirannku kepada Aisyah. Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaan Saudah. Maka turunlah ayat tersebut. "Tidak ada dosa bai keduanya untuk melakukan perdamaian"
Riwayat ni menyebutkan sebagai berikut :
قال هشام بن أبيه عن عائشة. انها نزلت فى المراة عند الرجل ويريد طلاقها وينزوج غيرها فتقول امسكنى ولاتطلقى ثم تزوج وأنت فى حل من النفقة والقسمة لى.
Artinya : "Berkata Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah r.a. Ayat tersebut turun berkenaan dengan seorang wanita yang menjadi isteri seseorang yang mau menceraikannya dan menikahi wanita lain, lalu wanita tersebut berkata ; "Tetaplah miliki aku, jangan kau ceraikan aku dan nikahilah wanita lain, engkau ku bebaskan dari kewajiban memberi nafaqah dan giliran untukku".

E. Pembahasan Ayat
الرجال قوامون على النساء: Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Makna kepemimpinan disini adalah dalam lingkup keluarga. Adapun makna kepemimpinan di satu sisi adalah kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah tangga yang harus ditaati oleh isteri, di sisi lain adalah tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti tempat tinggal, nafkah, dan segala hal yang berkaitan dengan pemeliharaan, pembinaan dan perlindungan. Para mufassir menekankan bahwa ketaatan kepada suami harus sejalan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul dan bukan dalam hal kebatilan. Quraisy Syihab, yang tampaknya terinspirasi dengan realitas di masyarakat, menggaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarkan kepada kesewenang-wenangan. Bukankah 'musyawarah' merupakan anjuran al-Qur'an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk keluarga."
Muhammad Abduh, memberikan pengertian yang sangat bijak karena sesuai dengan kondisi kernaiuan perernpuan, yaitu "Kepemimpinan yang diamanahkan kepada laki-laki adalah merupakan urusan yang terkait dengan kelaziman. Pengertian memirnpin adalah menaungi perempuan dengan memberikan kesempatan berkembangnya kehendak dan pilihannya secara kreatif. Bukan berarti perempuan dipaksa dan dicabut kehendaknya, tidak boleh melakukan sesuatu selain yang diperintahkan pemimpin. Bisa disimpulkan, bahwa suami adalah pemimpin keluarga, yang harus ditaati oleh isteri, anak-anak dan anggota keluarga yang lain, namun kepemimpinan itu bukan kekuasaan yang otoriter, kejam, tak berperasaan, yang tidak manusiawi, yang jika demikian tentu tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul SAW.
بما فضـل الله بعضهم على بعض: Sebagian rnufassir mengartikan ayat ini sebagai kelebihan atau keutamaan yang diberikan Allah kepada laki-laki, yang mengangkat derajat laki-laki diatas perempuan, menjadikan laki-laki lebih baik dari perempuan. Kelebihan itu ditunjukkan bahwa dari segi fisik maupun akal, laki-laki lebih baik dari perernpuan, sebab itu, hanya laki-laki yang dipilih Allah menjadi nabi, pemimpin, wali dan saksi. Pendapat tersebut lazimnya, diperkuat dengan ayat al Qur'an surat al-Baqarah (2): 228.
…وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ .... ﴿228﴾
Artinya : " Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya"
Dari hadits Rasulullah SAW :
لن يفلح قوم ولوا أمرهم إمرأة (رواه البخارى)
Sedang sebagian yang lain mengartikan, ibarat satu tubuh ada kepala dan ada anggota badan yang lain seperti tangan kaki dan lain-lain, atau pun kepala memiliki kelebihan, tetapi setiap anggota tubuh memiliki fungsi masing-masing, yang saling membutuhkan. Sedangkan kelebihan itu adalah untuk jenis laki-laki bukan untuk keseluruhan laki-laki. Karena realitasnya, banyak perempuan yang rnemiliki kelebihan dibandingkan laki-laki dalam ilmu, agama dan amal.
Pendapat kedua ini lebih bisa diterima, karena walaupun laki-laki diberi derajat lebih, bukan berarti perempuan itu rendah, melainkan untuk pembagian fungsi dan peranan yang disesuaikan dengan fitrah masing-masing. Tentang hal ini, Muhammad Abduh dan rnuridnya, Rasyid Ridla memberikan uraian yang rnenarik untuk disimak, 'Lelaki diberi nilai lebih dibanding wanita', adalah, dibalik itu ada hikmahnya. Allah hendak menjelaskan bahwa firman Allah yang melarang iri hati terhadap kelebihan yang lain diantara suami isteri. Ini merupakan faedah dari fitrah bahwa `perempuan dari laki-laki dan lelaki dari perempuan'. Keduanya adalah satu badan. Lelaki sebagai kepala, perempuan sebagai badannya. Harap dimaklumi, bahwa yang namanya kepala mempunyai kelebihan dibanding dengan anggota badan yang lain, tangan misalnya. Masalahnya, bagaimana memfungsikan antara satu dengan anggota badan yang lain. Ini demi kemaslahatan badan secara utuh. Kelebihan di pihak lelaki dalam bentuk kekuatan dan kemampuan untuk bekerja dan melindungi, tentu mempunyai hikmah tersendiri bagi perempuan. Perempuan akan lebih mudah dan aman menjalani tugas ¬tugas yang fitrati, seperti rnengandung, melahirkan dan rnendidik anak. Tapi yang perlu dipahami adalah, kelebihan laki-laki itu hanya dalam satu aspek, tidak dalam segala hal. Bahkan, banyak perempuan yang mempunyai kelebihan-kelebihan lain dibanding pria. Dengan demikian kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah karena Allah memberi kelebihan kepada laki-laki untuk dapat melindungi dan menaungi isteri dan anak-anak.
وبما أنفقوا من أموالهم
Kepemimpinan laki-laki diatas selain karena laki-laki diberi kelebihan penciptaan adalah juga karena laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak. Sedangkan isteri tidak berkewajiban memberi nafkah. Namun kelaziman di masyarakat, suami isteri sarna-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tentu, hal itu merupakan perbuatan mulia, karena isteri tidak berkewajiban memberi nafkah, berarti bantuan atau sedekah isteri kepada suami. Saling tolong menolong yang dianjurkan oleh al- Qur'an, tentu berlaku pula dalam hubungan suami isteri.
فالصلحت فنتت حفلظت للغيب بما حفظ الله
Perempuan yang saleh taat kepada Allah dan suaminya, menciptakan kedamaian serta mampu menjaga diri dan rahasia keluarganya. Menurut Atho' dan Qatadah, bahwa kata حفظت للغيب dalam ayat tersebut berarti bahwa seseorang perempuan yang saleh adalah perempuan yang mampu menjaga apa yang seharusnya dijaga. Menjaga diri, harta, dan rahasia ketika sang suami tidak ada. Diriwayatkan pula dari Abu Ma'syar dari sa'id al-Muqbari dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah SAW bersabda :
خير النساء إمراة أذا نظرت أليها سرتك وإذا مرتها اطاعتك عنها حفظتك في مالك ومفسها. ثم قرا رسول الله عليه وسلم الرجال قوامون الاية
Artinya: "Sebaik-baik perempuan adalah, jika engkau memandangnya menyenangkanmu jika engkau perintah dia mentaatimu dan jika engkau tiada disisinya, dia menjaga hartamu dan dirinya".
Itulah penjelasan Rasulullah SAW mengenai ayat tersebut. Menurut Abduh, makna kata الغيب pada ayat diatas adalah rahasia keluarga yang bila diketahui orang lain keduanya merasa malu. Seorang isteri hendaknya menjaga segala sesuatu yang khusus hanya dikehendaki suami isteri saja.
والتي تخافون نشوز هن فعظو هن واهجرو هن فىالمضـاجع واضربوهن
Menurut sebagian Ulama', diantaranya Muhammad bin Ka'ab arti kata والتي تخافون نشوز هن adalah "perempuan yang engkau ketahui nusyuz". Sedang sebagian yang lain, diantaranya Wahbah al-Zuhaily mengartikannya "perempuan yang engkau sangka nusyuz". Akibat dari perbedaan tersebut adalah tidak disebut nusyuz kecuali jika sudah benar-benar terjadi, sedang pada pendapat yang kedua, baru diduga saja sudah dianggap nusyuz. Para Ulama memberi pengertian yang beragam terhadap kata nusyuz. Pada umumnya mereka mengartikan pembangkangan kepada suami, tidak mentaati peritahnya, menolak ajakan barhubungan suami isteri, keluar rumah tanpa ijin. Di dalam kitab Hasyiyah al-Badjuri, kitab yang sangat dihormati di kalanlgan pesantren, dinyalakan bahwa perubahan raut muka pada isteri bisa dianggap sebagai tindakan nusyuz, misalnya dari cerah menjadi kusam. Pengertian yang terakhir ini tentu tidak dapat diterima, karena perubahan muka seseorang banyak sekali penyebabnya. Sebab itu perlu diselidiki dulu apa penyebabnya, boleh jadi penyebabnya adalah kesedihan hati bukan sebab pembangkangan. Karena itu, menurut hemat penulis, perlu ada definisi yang jelas mengertai nusyuz, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan suami dengan dalih isteri nusyuz.
Jika didapati perilaku nusyuz pada isteri, maka ada tiga terapi yang boleh dilakukan suarni untuk meluruskan perilaku nusyuz tersebut. Pertama, hendaknya suami memberi nasehat-nasehat. Yaitu dengan mengingatkan kewajiban kewajibannya kepada suami dan murka Allah jika isteri tidak taat pada suami. Menurut Rasyid Ridla, nasehat disesuaikan dengan kondisi isteri. Diantaranya ada isteri yang terpengaruh dengan ancaman-ancaman Allah, ada pula yang takut dengan konsekwensi dan sanksi duniawi, seperti dimusuhi, tidak diberi perhiasan atau pakaian yang indah. Seorang suami harus arif dalam memilih nasehat yang dapat tertanam di lubuk hati isteri.
Jika dengan nasehat itu sang isteri masih tetap nusyuz, maka, Kedua, suami boleh meninggalkannya di tempat tidur. Menurut Ibnu Abbas, makna واهجروا هن في المظاجع adalah suami isteri berada dalam satu ranjang, tetapi tidak berhubungan suami isteri. Tetapi ulama' yang lain berpendapat, tidak mendekati tempat tidurnya (pisah tempat tidur) sampai isteri menghentikan perilakunya.
Dan jika terapi kedua ini tetap tidak berhasil, Ketiga, suami boleh memukul isteri. Namun menurut para Ulama', pemukulan itu tidak boleh sampai melukai. Menurut Ibnu Juraij dan `Atho', pemukulan yang tidak melukai itu dengan siwak atau yang sepadan dengan siwak.
فان اطعكم فلا تبغوا عليهن سبيلا. إن الله كان عليا كبيرا
Jika isteri-isteri itu telah sadar dan taat pada suami setelah mendapatkan peringatan, maka suami tidak diperkenankan mencari-cari kesalahan isteri sehingga menyulitkan isteri.
Sesungguhnya kekuasaan Allah lebih besar dari pada kekuasaanrnu kepada isteri-isterimu. Jika suami berbuat melampaui batas, karena membanggakan kekuasaannya, maka Allah lebih berkuasa dari sekedar apa yang bisa dilakukan suami.
وان امرة خافت من بعلها نشوزا او اعرا ضها
Jika isteri mengetahui bahwa suaminya nusyuz atau berpaling darinya, seperti suami tidak mempergaulinya, mengabaikan nafkah atau acuh dan memalingkan muka sebagai tanda kebencian, bukan karena sebab-sebab yang lain seperti sibuk dan lelah. Karena seringkali suami berperilaku demikian sebab kesibukannya, bukan karena kebencian.
فلا جناح عليهما أن يصلح بينهما صلحا
Maka dianjurkan keduanya melakukan perdarnaian yang sebenar-benarnya, yang disepakati oleh kedua pihak. Kata "عليهما" berarti perdamaian itu harus melibatkan kedua belala pihak. Misalnya isteri merelakan sebagian haknya untuk tidak dipenuhi oleh suami (misalnya, nafkah) atau merelakan seluruh haknya, nafkah dan tidur bersama, agar isteri tetap mendapatkan perlindungan dan kehormatan. Akan tetapi suami tidak boleh mengacuhkan isteri sengaja dengan harapan isteri merelakan hak-haknya untuk tidak dipenuhi suami.
والصـلح خير
Perdamaian itu lebih disukai Allah dan pada talak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad :
ابغض الحلال عندالله الطلاق
"Perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak"
Menurut al-Jashshosh, Perdamaian itu lebih baik dari pada nusyuz dan I'radl.
واحضرت الأنفس الشح
Asy-syuhh artinya kikir. Pada diri manusia terdapat potensi dasar sifat kikir. Suami merasa enggan mengeluarkan hartanya untuk isterinya, sedangkan isteri juga enggan rnerelakan sebagian nafkah yang diterimanya untuk usaha memperbaiki kemelut keluarga. Menurut Quraisy Syihab, ayat ini tidak hanya berarti kikir terhadap harta, akan tetapi juga mengandung arti kekikiran untuk mengorbankan sebagian haknya. Maksudnya, walaupun manusia mempunyai potensi dasar kikir, tetapi demi menyelesaikan kemelut rumah tangga, sebaiknya keduanya (suami isteri) rela rnengorbankan sebagian haknya.
وإن تحسنوا وتتقوا فان الله كان بمت تعملون خبيرا
Dan jika suami memilih menanggung beban dengan sabar atas apa yang tidak disukai dari isterinya dan dia membagi sebagaimana pada isteri-isteri yang lain, maka Allah Maha Mengetahui tentang hal itu dan akan memberi balasan dengan sebaik-baik balasan.

F. Pembahasan Masalah
Konteks ayat tentang nusyuz-nya isteri (S. Al-Nisa' (4)34) diawali dengan kalimat الرجال قوامون علىالنساء Yang berarti suami itu pemimpin isterinya. Pemimpin, bukanlah sekedar hak kehormatan dan kemuliyaan, namun dibalik itu adalah tanggung jawab untuk melindungi serta memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagaimana dijelaskan dalam kalimat berikutnya.
بما فضل الله بعضهم على بعض وبما إنفقوا من أموالهم
Menurut kelazimannya, suami yang sudah melaksanakan kewajibannya dengan tulus, memimpin isteri dengan bijak, akan menumbuhkan perilaku serupa pada isteri. Isteri akan berperilaku taat, dalam arti memperhatikan hal-hal yang menjadi kebahagiaan suami dan sekuat tenaga menghindari hal-hal yang dapat memicu kemarahan suami, atas dasar imannya kepada Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW. Sebab itu tepat sekali kelanjutan ayat itu adalah kalimat.
فالصلحات قانتات حافضـات للغيب
Dan kecil kemungkinannya, jika suami yang sholeh, melaksanakan kewajiban¬kewajibannya, mendapat respon sebaliknya, yaitu 'perilaku nusyuz' dari isterinya. Sebab itu, dalam kondisi demikian, wajarlah jika suami diperbolehkan untuk memperbaiki perilaku nusyuz isteri dalam tiga tahap, menasehati, pisah ranjang dan memukul yang tidak menyakiti. Akan tetapi, sebelum menimpakan kesalahan kepada isteri yang nusyuz, tentu suami harus introspeksi lebih dulu, apakah dia sudah melaksanakan kewajibannya dengan baik atau belum. Hal ini sesuai dengan awal ayat ini yang menekankan kewajiban suami untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan isteri termasuk memberi
kesempatan berkarya sesuai dengan keahlian isteri.
Introspeksi dapat dilakukan dengan melibatkan isteri untuk merekonstruksi perjalanan hidup yang sudah dilewati berdua. Boleh jadi, ketika suami melakukannya, isteri juga secara otomatis menginstropeksi dirinya sendiri. Bukankah landasan hidup berkeluarga di dalam Islam adalah 'muasyarah bi al ma'ruf' ?. Tentu dalam menyikapi perilaku nusyuz juga harus bil ma'ruf terlebih dulu, sebelum suami melakukan terapi seperti dijelaskan dalam ayat ini. Karena mencintai (mawaddah wa rahmah) adalah melakukan hal-hal yang berdampak positif bagi orang yang dicintai dengan tulus. Hal yang sering muncul dalam wacana 'kesetaraan gender' adalah kritik para feminis bahwa ayat ini memberi kekuasaan yang sangat besar kepada suami, sedangkan posisi isteri sangat rentan. Karena suami diposisikan sebagai pemimpin, dia bisa seenaknya mengatur dan mengendalikan isteri, sedang isteri tidak punya hak untuk menolak, sebab kalau menolak berarti nusyuz.
Menurut hemat penulis kritik semacam itu muncul karena kurang memahami cita hukum al-Qur'an dan secara gegabah membuat kesimpulan-kesimpulan secara parsial. Suami sebagai pemimpin, menurut hemat penulis, adalah untuk melindungi isteri. Dan pemimpin tentu harus ditaati oleh pihak yang dipimpin. Namun boleh jadi yang menjadi sasaran kritik tersebut adalah kepemimpinan yang menonjolkan sisi kekuasaan, seolah bos kepada bawahan. Jika demikian, kritik semacam itu tentu bisa diterima, karena tidak sesuai dengan cita hukum al-Qur'an dan teladan Rasul.
Hal yang harus digarisbawahi juga, nusyuz itu harus didefinisikan yang jelas antara suami isteri. Secara garis besar Ulama menafsirkan nusyuz itu sebagai pembangkangan isteri kepada suami, tidak mentaati perintah suami, menolak ajakan suami untuk berhubungan sex, keluar rumah tanpa izin. Penafsiran tersebut masih gelobal, bagaimana perinciannya tentu hanya masing¬-masing suami isteri yang paling tahu, karena hubungan suami isteri adalah wilayah yang sangat pribadi. Misalnya, suami menginginkan hubungan sex pada saat kondisi isteri lagi kepayahan, penolakan dalam kondisi seperti ini tentu bukan nusyuz.
Ayat tentang nusyuz ditutup dengan peringatan Allah kepada suami, jika isteri sudah salihah, janganlah suami sewenang-wenang kepada isteri dengan mencari-cari kesalahannya. Seolah Allah memberikan ancaman, jika suami sewenang-wenang, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Besar akan memberikan balasan-Nya dan Allah akan melindungi isteri.
Kritik yang lain dari kalangan feminis, adalah mengapa suami diberi hak untuk memukul isteri. Memukul dalam wacana feminis adalah tindakan kekerasan dalam rurnah tangga. Apalagi jika pihak yang dipukul itu harus diam dan pasrah saja, karena tidak ada qisas untuk pemukulan suami kepada isteri.
Untuk kritik tersebut dapat dijelaskan, bahwa pemukulan baru boleh digunakan pada tahap terakhir dalam terapi nusyuz, sesudah nasehat dan pisah ranjang tidak dapat memperbaiki perilaku nusyuz isteri. Jadi suami tidak boleh memukul isteri pada awal nusyuz. Pemukulan itupun menurut Rasulullah tidak boleh melukai, apalagi sampai menyebabkan cedera. sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut :
يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان لكم عليهن الا يوطئن فرسكم احدا تكر هو نه.....فان فعلن فاضر بوهن ضربا مبرح.
"Bersabda Rusululluh SAW : Hak mu (suami) atas isteri adalah hendaknya isteri tidak memasukkan orang yang tidak kau sukai ke rumahmu jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan".

Dan pada hadits yang lain diriwayatkan Abu Daud dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya :
قلت يا رسول الله : ما حق زوجة أحدنا علية ؟ : ان تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا كتسيت ولا تصزب الوجه ولا تقبح، ولا تهجر الا فىالبيت
" Saya bertanya kepada Rasulullah : apa hak isteri kami atas kami (suami)? Rasul menjawab : "Engkau beri makan jika engkau makan, engkau beri pakaian jika engkau berpakai

Berdasarkan hadis itu para ulama berpendapat pemukulan itu harus dengan benda-benda yang halus seperti siwak atau saputangan dan tidak boleh pada bagian¬-bagian yang fital seperti wajah. Namun dari teladan Rasulullah SAW, bisa disimpulkan bahwa pemukulan, walaupun pemukulan ringan, harus semaksimal mungkin dihindari. Pemukulan hanya salah satu instrumen untuk meluruskan penyimpangan, hakikatnya Rasul tidak menghendaki terjadinnya pemukulan suami kepada isteri. Hadits dibawah ini sangat jelas menunjukkan hal tersebut:
لن يضرب خياركم (رواه البيهقي)
Artinya : "Tidak akan pernah memukul seseorang yang baik diantara kamu "(RH. Baihaqi)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah :
ما ضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم خادماله ولاإمراة ولا ضرب بيده شيئا (رواه النساء)
Artinya: "Sekali-kali rasulullah SAW tidak pernah memukul isterinya, pembantunya dan tidak pernah memukul apapun" (HR. Nasa'i)
Dari riwayat-riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak benar Islam itu melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga. Adapun jika yang nusyuz adalah suami, sedangkan isteri masih mencintai dan menginginkan tetap dalam ikatan perkawinan, maka dianjurkan bagi isteri untuk rnelakukan perdamaian dengan suami, misalnya dengan merelakan hak-haknya seperti nafkah dan tidur bersama tidak dipenuhi oleh suami. Perbedaan perlakuan antara suami yang nusyuz dan isteri yang nusyuz adalah karena posisi suami sebagai pemimpin keluarga. Namun demikian sebaiknya suami tidak nusyuz, karena jika ia mau bersabar terhadap kekurangan-kekurangan isterinya, Allah akan memberikan balasan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi jika isteri tidak bisa menerima nusyuznya suami, maka isteri boleh meminta cerai, sebagaimana dijelaskan dalam surat al¬ Baqarah (2):229
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه
Artinya : "maka tidak ada dosa atas kedunya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menembus dirinya".
Hanya saja untuk melakukan perceraian, harus dipertimbangkan masak-masak, karena perceraian adalah perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Disamping itu, juga harus mengikuti tata cara perceraian yang ditetapkan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam.




G. Istimbat Hukum
1. Suami adalah pemimpin keluarga. Pengertian "pemimpin keluarga" adalah kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kemaslahatan keluarga dengan mencukupi segala kebutuhan lahir dan batin serta memberi naungan kepada isteri untuk berkembang sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Di pihak lain isteri diwajibkan untuk patuh kepada suami.
2. Kepemimpinan suami tersebut, disisi lain juga melimpahkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada isteri.
3. Pengertian "isteri nusyuz" adalah isteri tidak patuh kepada suami, mengabaikan perintahnya, menolak ajakan berhubungan sex, keluar rumah tanpa izin suami dan perilaku-perilaku lain yang tidak disukai suami. Pengertian tersebut masih sangat umum (global). Perinciannya boleh dimusyawarahkan antara suami isteri, sehingga ada rambu-rambu yang jelas yang diketahui bersama, sehingga bisa diketahui bersama kapan suatu perilaku dianggap nusyuz, berdasarkan muasyarah bi al-ma'ruf.
4. Jika isteri nusyuz (membangkang), maka suami boleh melakukan tiga cara untuk meluruskannya secara berurutan, yaitu, Pertama, menasehati; Kedua, tidak mempergauli dan Ketiga, memukul yang tidak menyakitkan. Namun demikian sebelum melakukan cara-cara tersebut, hendaknya suami terlebih dulu melakukan introspeksi, agar dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik. demi keutuhan dan keharmonisan keluarga.
5. Pemukulan yang ringan, walaupun dibolehkan, sebaiknya dihindari, karena rnerupakan perilaku yang tidak terpuji. Dengan demikian tidak benar jika dikatakan Islam meligitimasi kekerasan dalam rumah tangga.
6. Jika istri shalehah, taat, maka suami sama sekali tidak boleh menyakiti, misalnya dengan rnencari-cari kesalahannya.
7. Pengertian "suami nusyuz" adalah suami sudah tidak menghendaki isterinya lagi bahkan ada tanda-tanda akan merencanakannya.
8. Jika suami yang nusyuz, isteri boleh melakukan perdamaian dengan merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya. Misalnya ia rela tidak diberi nafkah, atau tidak dipergauli demi menyelamatkan keutuhan perkawinan. Perdamaian seperti itu lebih baik dibandingkan perceraian dan lebih disukai oleh Allah SWT.
9. Suami sebaiknya bersabar terhadap kekurangan-kekurangan isteri, karena bersabar itu lebih baik dibandingkan nusyuz dan perceraian, dan Allah akan memberi balasan yang baik terhadap kesabarannya.
Wahhahu `alam bi al-shawaab.













DAFTAR PUSTAKA

, (1351-1931), Huquuq al-Mar'ah al-Muslimah, (Cairo: Matba'ah al-manar M).
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur'an dan Terjemahannya
Hasyim, Syafiq, (2001), Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan).
Jashshosh, al, Abu Bakar Ahmad al-razy, (t.th), Ahkam al-Qur'an, (Beirut- Lubnan: Dar al-Fikr).
Katsir, Ismail bin, (t.th), tafsir al-Qur'an al-Adlim, Maktabah Misro.
Mas'udi, Masdar Farid, (2000), Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan).
Ridha, Muhammad Rasyid, (t.th), Tafsir al-Qur'an al-hakim (al-tafsir al-Manar), (Beirut- Lubnan: Dar al-Fikr).
Sabiq Al-Sayyid, (t.th), Fiqh Sunnah, (Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr).
Shabuni, al, Muhammad Ali, (t.th), Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut-Lukban: Dar al-Fikr).
Syihab, Qurasy, (2000), Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati).
Tabari, al, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid, (1418-1998), Tafsir al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir).
Zuhaily, Wahbah, (1418-1998), Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir).

2 komentar:

Abdul Helim mengatakan...

ass. ibu. tulisannya sangat bermanfaat. saya sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa suami pun bisa melakukan nusyuz, oleh karena itu isteri sebenarnya berhak menuntut hak-haknya, bukan merelakan hak-haknya terabaikan. okey ibu. terima kasih banyak. mohon link back-nya bu di http://ushulfikih.blogspot.com

Unknown mengatakan...

izin copy bu.. trimkasih

Posting Komentar