BUKU TAMU

Selasa, 14 Juli 2009








Read More..

NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF TAFSIR AHKAM

Senin, 13 Juli 2009

A. Pendahuluan
Pernikahan adalah ajaran Islam yang pokok yang ditegaskan sebagai sunnah Rasul, yang mana barangsiapa menolaknya maka dia tidak termasuk golongan Rasul. Tujuan Islam mensyari'atkan pernikahan, antara lain, adalah agar pasangan suami isteri dapat hidup tenang dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan tenang diliputi cinta dan kasih sayang akan memudahkannya untuk melaksanakan misi penciptaan sebagai manusia, yaitu abdullah dan khalifatullah.
Untuk itu, Islam mengajarkan cara bagaimana membentuk rumah tangga yang tenang penuh dengan cinta dan kasih sayang yang dirumuskannya secara garis besar dengan saling mempergauli dengan baik (بالمعروف ( معا شرة. Namun realitasnya, seringkali kita menemukan gangguan¬ gangguan yang rnenyebabkan tidak tercapainya tujuan tersebut (مودة ورحمة (. Diantara gangguan itu adalah perilaku nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Dalam diskursus kesetaraan gender, sering dilontarkan kritik, bahwa dalam ayat-ayat mengenai nusyuz.: secara tidak langsung Islam melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu, kekerasan suami kepada isteri. Benarkah kritik tersebut ? Bagaimana sesungguhnya tuntunan Islam menghadapi tingkah nusyuz ? Penulis tertarik untuk membahas topik nusyuz dalam perspektif tafsir ahkam, sudah tentu, dengan memperhatikan kode etik penulisan ilmiyah, jujur, kritis. dan terbuka. Menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan diri, penulis berharap koreksi dari masukan baik dari pengasuh maupun kolega yang budiman.

B. Ayat-Ayat Nusyuz
Di dalam al-Qur'an terdapat dua ayat yang menjelaskan nusyuz, yaitu surah al-Nisa' (4) ayat 34 dan ayat 128 :
1. Surah al-Nisa' ayat 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".
2. Surah al-Nisa' ayat 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿128﴾
Artinya : "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".

C. Makna Mufradat
قوامون : Sighot mubalaghoh dari kata قوام yang berasal dari kata قام , yang berarti melaksanakan suatu urusan dengan sempurna, mernenuhi segala rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya. Kalau ia rnelaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-uiang maka la dinamai قوام, sebagaimana orang salat. Seringkali kata ini diterjemahkao pemimpin. Kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
قانتات : Wanita yang terus menerus taat. Artinya selalu taat kepada Allah dan suaminya.
حفظت للغيب: Wanita yang menjaga diri dan kehormatannya.
نشوز : نشوز هن arti bahasanya adalah ارتفاع (ketinggian). Wanita yang nusyuz adalah wanita yang tinggi hati kepada suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya dan yang benci kepada suaminya.
َواهْجًرًوْ هًنَّ فِي الْمَضَاجِعِ : Tinggalkanlah mereka (isteri) dari tempat tidur.
وَإِنَّ امْرَأَةً خَافَت: Jika seorang perempuan khawatir terjadinya hal-hal yang tidak disukai dari suaminya.
وَالصًّلحً خَيْرً : Perdamaian itu lebih baik dari pada berpisah, nusyuz dan berpaling.

D. Sebab Turunya Ayat
Sebab turunya surah al-Nisa' ayat 34 adalah sebagaimana diriwayatkan oleh al-hasan ak-Basri, sebagaimana berikut :
و قال الحسن البصري : جاءت لمرأة إلى النبى صلى الله عليه وسلم تشكواان زوجها لطمها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "القصاص" فانزل الله عز وجل (الرجال قوامون على النساء) الأية بغير قصـاص.

Artinya : "berkata al-Hasan al-Basri : "Datang seorang peempuan kepada Nabi SAW mengadukan suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "wajib qisas" kemudian turunlah ayat 'Laki-laki adalah pemimpin perempuan' sampai akhir ayat : Maka pulanglah perempuan itu tanpa qisas".
Selain itu ada riwayat dari sahabat Ali. R.a, sebagai berikut :
عن على قال أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل من الأنصار بإمرأة له فقالت : يا رسول الله أن زوجها فلان الأصاري وأنه ضربها فاثر وجهها فقا رسول الله صلى الله عليه وسلم "ليس له ذلك" فأنزل الله تعالى (الرجال قوامون على النساء) أي فى الا دب فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اردت إمرا واراد الله غيره.
Artinya : "Dari Ali r.a berkata : Serang laki-laki Ansar dating kepada Rasululllah SAW bersama isterinya. Kemudian isteriya berkata : "Wahai Rasulullah sesungguhnya suamiya fulan bin fulan memukul isterinyasampai membekas di wajahnya", kemudian Rasulullah bersabda, "Suaminya tidak boleh berlaku demikian". Kemudian turunlah ayat 'Laki-laki pemimpin atas perempuan….' Maksudnya di dalam mendidik, kemudian Rasulullah SAW bersabda, " Aku menghendaki suatu hal sedangkan Allah menghendaki yang lain"
.
Dari dua riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sabab nuzul ayat adalah berkenaan dengan urusan keluarga,
konflik suami isteri sampai suami memukul isterinya, tidak diperlakukan qisas. Dalam hal ini tentu pemukulan itu dalam rangka mendidik dan menyembuhkan perilaku nusyuz bukan untuk menyakiti, apalagi melampiaskan amarah, sebagaimana akan dijelaskan dibawah nanti.
Adapun sabab nuzul surat al-Nisa' ayat 128, yaitu ayat yang berkenaan dengan nusyuz-nya suami adalah :
إنها نزلت بسبب سودة بمت زمعة قال : جشيت سودة بمت زمعة ان يطلقها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت : لاتطلقنى واسكنى واجعل منك لعانشة، ففعل، فنزلت "فلا جناح عليها أن يصلحا بينهما صلحا"
Artinya : "Sesunguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kasus Saudah bin Zam'ah, ia khawatir Rasulullah menceraikannya, kemudian ia berkata : jangan menceraikan aku dan berikanlah lirannku kepada Aisyah. Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaan Saudah. Maka turunlah ayat tersebut. "Tidak ada dosa bai keduanya untuk melakukan perdamaian"
Riwayat ni menyebutkan sebagai berikut :
قال هشام بن أبيه عن عائشة. انها نزلت فى المراة عند الرجل ويريد طلاقها وينزوج غيرها فتقول امسكنى ولاتطلقى ثم تزوج وأنت فى حل من النفقة والقسمة لى.
Artinya : "Berkata Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Aisyah r.a. Ayat tersebut turun berkenaan dengan seorang wanita yang menjadi isteri seseorang yang mau menceraikannya dan menikahi wanita lain, lalu wanita tersebut berkata ; "Tetaplah miliki aku, jangan kau ceraikan aku dan nikahilah wanita lain, engkau ku bebaskan dari kewajiban memberi nafaqah dan giliran untukku".

E. Pembahasan Ayat
الرجال قوامون على النساء: Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Makna kepemimpinan disini adalah dalam lingkup keluarga. Adapun makna kepemimpinan di satu sisi adalah kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan rumah tangga yang harus ditaati oleh isteri, di sisi lain adalah tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti tempat tinggal, nafkah, dan segala hal yang berkaitan dengan pemeliharaan, pembinaan dan perlindungan. Para mufassir menekankan bahwa ketaatan kepada suami harus sejalan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul dan bukan dalam hal kebatilan. Quraisy Syihab, yang tampaknya terinspirasi dengan realitas di masyarakat, menggaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarkan kepada kesewenang-wenangan. Bukankah 'musyawarah' merupakan anjuran al-Qur'an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk keluarga."
Muhammad Abduh, memberikan pengertian yang sangat bijak karena sesuai dengan kondisi kernaiuan perernpuan, yaitu "Kepemimpinan yang diamanahkan kepada laki-laki adalah merupakan urusan yang terkait dengan kelaziman. Pengertian memirnpin adalah menaungi perempuan dengan memberikan kesempatan berkembangnya kehendak dan pilihannya secara kreatif. Bukan berarti perempuan dipaksa dan dicabut kehendaknya, tidak boleh melakukan sesuatu selain yang diperintahkan pemimpin. Bisa disimpulkan, bahwa suami adalah pemimpin keluarga, yang harus ditaati oleh isteri, anak-anak dan anggota keluarga yang lain, namun kepemimpinan itu bukan kekuasaan yang otoriter, kejam, tak berperasaan, yang tidak manusiawi, yang jika demikian tentu tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul SAW.
بما فضـل الله بعضهم على بعض: Sebagian rnufassir mengartikan ayat ini sebagai kelebihan atau keutamaan yang diberikan Allah kepada laki-laki, yang mengangkat derajat laki-laki diatas perempuan, menjadikan laki-laki lebih baik dari perempuan. Kelebihan itu ditunjukkan bahwa dari segi fisik maupun akal, laki-laki lebih baik dari perernpuan, sebab itu, hanya laki-laki yang dipilih Allah menjadi nabi, pemimpin, wali dan saksi. Pendapat tersebut lazimnya, diperkuat dengan ayat al Qur'an surat al-Baqarah (2): 228.
…وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ .... ﴿228﴾
Artinya : " Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya"
Dari hadits Rasulullah SAW :
لن يفلح قوم ولوا أمرهم إمرأة (رواه البخارى)
Sedang sebagian yang lain mengartikan, ibarat satu tubuh ada kepala dan ada anggota badan yang lain seperti tangan kaki dan lain-lain, atau pun kepala memiliki kelebihan, tetapi setiap anggota tubuh memiliki fungsi masing-masing, yang saling membutuhkan. Sedangkan kelebihan itu adalah untuk jenis laki-laki bukan untuk keseluruhan laki-laki. Karena realitasnya, banyak perempuan yang rnemiliki kelebihan dibandingkan laki-laki dalam ilmu, agama dan amal.
Pendapat kedua ini lebih bisa diterima, karena walaupun laki-laki diberi derajat lebih, bukan berarti perempuan itu rendah, melainkan untuk pembagian fungsi dan peranan yang disesuaikan dengan fitrah masing-masing. Tentang hal ini, Muhammad Abduh dan rnuridnya, Rasyid Ridla memberikan uraian yang rnenarik untuk disimak, 'Lelaki diberi nilai lebih dibanding wanita', adalah, dibalik itu ada hikmahnya. Allah hendak menjelaskan bahwa firman Allah yang melarang iri hati terhadap kelebihan yang lain diantara suami isteri. Ini merupakan faedah dari fitrah bahwa `perempuan dari laki-laki dan lelaki dari perempuan'. Keduanya adalah satu badan. Lelaki sebagai kepala, perempuan sebagai badannya. Harap dimaklumi, bahwa yang namanya kepala mempunyai kelebihan dibanding dengan anggota badan yang lain, tangan misalnya. Masalahnya, bagaimana memfungsikan antara satu dengan anggota badan yang lain. Ini demi kemaslahatan badan secara utuh. Kelebihan di pihak lelaki dalam bentuk kekuatan dan kemampuan untuk bekerja dan melindungi, tentu mempunyai hikmah tersendiri bagi perempuan. Perempuan akan lebih mudah dan aman menjalani tugas ¬tugas yang fitrati, seperti rnengandung, melahirkan dan rnendidik anak. Tapi yang perlu dipahami adalah, kelebihan laki-laki itu hanya dalam satu aspek, tidak dalam segala hal. Bahkan, banyak perempuan yang mempunyai kelebihan-kelebihan lain dibanding pria. Dengan demikian kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah karena Allah memberi kelebihan kepada laki-laki untuk dapat melindungi dan menaungi isteri dan anak-anak.
وبما أنفقوا من أموالهم
Kepemimpinan laki-laki diatas selain karena laki-laki diberi kelebihan penciptaan adalah juga karena laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak. Sedangkan isteri tidak berkewajiban memberi nafkah. Namun kelaziman di masyarakat, suami isteri sarna-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tentu, hal itu merupakan perbuatan mulia, karena isteri tidak berkewajiban memberi nafkah, berarti bantuan atau sedekah isteri kepada suami. Saling tolong menolong yang dianjurkan oleh al- Qur'an, tentu berlaku pula dalam hubungan suami isteri.
فالصلحت فنتت حفلظت للغيب بما حفظ الله
Perempuan yang saleh taat kepada Allah dan suaminya, menciptakan kedamaian serta mampu menjaga diri dan rahasia keluarganya. Menurut Atho' dan Qatadah, bahwa kata حفظت للغيب dalam ayat tersebut berarti bahwa seseorang perempuan yang saleh adalah perempuan yang mampu menjaga apa yang seharusnya dijaga. Menjaga diri, harta, dan rahasia ketika sang suami tidak ada. Diriwayatkan pula dari Abu Ma'syar dari sa'id al-Muqbari dari Abu Hurairah, Bahwa Rasulullah SAW bersabda :
خير النساء إمراة أذا نظرت أليها سرتك وإذا مرتها اطاعتك عنها حفظتك في مالك ومفسها. ثم قرا رسول الله عليه وسلم الرجال قوامون الاية
Artinya: "Sebaik-baik perempuan adalah, jika engkau memandangnya menyenangkanmu jika engkau perintah dia mentaatimu dan jika engkau tiada disisinya, dia menjaga hartamu dan dirinya".
Itulah penjelasan Rasulullah SAW mengenai ayat tersebut. Menurut Abduh, makna kata الغيب pada ayat diatas adalah rahasia keluarga yang bila diketahui orang lain keduanya merasa malu. Seorang isteri hendaknya menjaga segala sesuatu yang khusus hanya dikehendaki suami isteri saja.
والتي تخافون نشوز هن فعظو هن واهجرو هن فىالمضـاجع واضربوهن
Menurut sebagian Ulama', diantaranya Muhammad bin Ka'ab arti kata والتي تخافون نشوز هن adalah "perempuan yang engkau ketahui nusyuz". Sedang sebagian yang lain, diantaranya Wahbah al-Zuhaily mengartikannya "perempuan yang engkau sangka nusyuz". Akibat dari perbedaan tersebut adalah tidak disebut nusyuz kecuali jika sudah benar-benar terjadi, sedang pada pendapat yang kedua, baru diduga saja sudah dianggap nusyuz. Para Ulama memberi pengertian yang beragam terhadap kata nusyuz. Pada umumnya mereka mengartikan pembangkangan kepada suami, tidak mentaati peritahnya, menolak ajakan barhubungan suami isteri, keluar rumah tanpa ijin. Di dalam kitab Hasyiyah al-Badjuri, kitab yang sangat dihormati di kalanlgan pesantren, dinyalakan bahwa perubahan raut muka pada isteri bisa dianggap sebagai tindakan nusyuz, misalnya dari cerah menjadi kusam. Pengertian yang terakhir ini tentu tidak dapat diterima, karena perubahan muka seseorang banyak sekali penyebabnya. Sebab itu perlu diselidiki dulu apa penyebabnya, boleh jadi penyebabnya adalah kesedihan hati bukan sebab pembangkangan. Karena itu, menurut hemat penulis, perlu ada definisi yang jelas mengertai nusyuz, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan suami dengan dalih isteri nusyuz.
Jika didapati perilaku nusyuz pada isteri, maka ada tiga terapi yang boleh dilakukan suarni untuk meluruskan perilaku nusyuz tersebut. Pertama, hendaknya suami memberi nasehat-nasehat. Yaitu dengan mengingatkan kewajiban kewajibannya kepada suami dan murka Allah jika isteri tidak taat pada suami. Menurut Rasyid Ridla, nasehat disesuaikan dengan kondisi isteri. Diantaranya ada isteri yang terpengaruh dengan ancaman-ancaman Allah, ada pula yang takut dengan konsekwensi dan sanksi duniawi, seperti dimusuhi, tidak diberi perhiasan atau pakaian yang indah. Seorang suami harus arif dalam memilih nasehat yang dapat tertanam di lubuk hati isteri.
Jika dengan nasehat itu sang isteri masih tetap nusyuz, maka, Kedua, suami boleh meninggalkannya di tempat tidur. Menurut Ibnu Abbas, makna واهجروا هن في المظاجع adalah suami isteri berada dalam satu ranjang, tetapi tidak berhubungan suami isteri. Tetapi ulama' yang lain berpendapat, tidak mendekati tempat tidurnya (pisah tempat tidur) sampai isteri menghentikan perilakunya.
Dan jika terapi kedua ini tetap tidak berhasil, Ketiga, suami boleh memukul isteri. Namun menurut para Ulama', pemukulan itu tidak boleh sampai melukai. Menurut Ibnu Juraij dan `Atho', pemukulan yang tidak melukai itu dengan siwak atau yang sepadan dengan siwak.
فان اطعكم فلا تبغوا عليهن سبيلا. إن الله كان عليا كبيرا
Jika isteri-isteri itu telah sadar dan taat pada suami setelah mendapatkan peringatan, maka suami tidak diperkenankan mencari-cari kesalahan isteri sehingga menyulitkan isteri.
Sesungguhnya kekuasaan Allah lebih besar dari pada kekuasaanrnu kepada isteri-isterimu. Jika suami berbuat melampaui batas, karena membanggakan kekuasaannya, maka Allah lebih berkuasa dari sekedar apa yang bisa dilakukan suami.
وان امرة خافت من بعلها نشوزا او اعرا ضها
Jika isteri mengetahui bahwa suaminya nusyuz atau berpaling darinya, seperti suami tidak mempergaulinya, mengabaikan nafkah atau acuh dan memalingkan muka sebagai tanda kebencian, bukan karena sebab-sebab yang lain seperti sibuk dan lelah. Karena seringkali suami berperilaku demikian sebab kesibukannya, bukan karena kebencian.
فلا جناح عليهما أن يصلح بينهما صلحا
Maka dianjurkan keduanya melakukan perdarnaian yang sebenar-benarnya, yang disepakati oleh kedua pihak. Kata "عليهما" berarti perdamaian itu harus melibatkan kedua belala pihak. Misalnya isteri merelakan sebagian haknya untuk tidak dipenuhi oleh suami (misalnya, nafkah) atau merelakan seluruh haknya, nafkah dan tidur bersama, agar isteri tetap mendapatkan perlindungan dan kehormatan. Akan tetapi suami tidak boleh mengacuhkan isteri sengaja dengan harapan isteri merelakan hak-haknya untuk tidak dipenuhi suami.
والصـلح خير
Perdamaian itu lebih disukai Allah dan pada talak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad :
ابغض الحلال عندالله الطلاق
"Perkara halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak"
Menurut al-Jashshosh, Perdamaian itu lebih baik dari pada nusyuz dan I'radl.
واحضرت الأنفس الشح
Asy-syuhh artinya kikir. Pada diri manusia terdapat potensi dasar sifat kikir. Suami merasa enggan mengeluarkan hartanya untuk isterinya, sedangkan isteri juga enggan rnerelakan sebagian nafkah yang diterimanya untuk usaha memperbaiki kemelut keluarga. Menurut Quraisy Syihab, ayat ini tidak hanya berarti kikir terhadap harta, akan tetapi juga mengandung arti kekikiran untuk mengorbankan sebagian haknya. Maksudnya, walaupun manusia mempunyai potensi dasar kikir, tetapi demi menyelesaikan kemelut rumah tangga, sebaiknya keduanya (suami isteri) rela rnengorbankan sebagian haknya.
وإن تحسنوا وتتقوا فان الله كان بمت تعملون خبيرا
Dan jika suami memilih menanggung beban dengan sabar atas apa yang tidak disukai dari isterinya dan dia membagi sebagaimana pada isteri-isteri yang lain, maka Allah Maha Mengetahui tentang hal itu dan akan memberi balasan dengan sebaik-baik balasan.

F. Pembahasan Masalah
Konteks ayat tentang nusyuz-nya isteri (S. Al-Nisa' (4)34) diawali dengan kalimat الرجال قوامون علىالنساء Yang berarti suami itu pemimpin isterinya. Pemimpin, bukanlah sekedar hak kehormatan dan kemuliyaan, namun dibalik itu adalah tanggung jawab untuk melindungi serta memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagaimana dijelaskan dalam kalimat berikutnya.
بما فضل الله بعضهم على بعض وبما إنفقوا من أموالهم
Menurut kelazimannya, suami yang sudah melaksanakan kewajibannya dengan tulus, memimpin isteri dengan bijak, akan menumbuhkan perilaku serupa pada isteri. Isteri akan berperilaku taat, dalam arti memperhatikan hal-hal yang menjadi kebahagiaan suami dan sekuat tenaga menghindari hal-hal yang dapat memicu kemarahan suami, atas dasar imannya kepada Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW. Sebab itu tepat sekali kelanjutan ayat itu adalah kalimat.
فالصلحات قانتات حافضـات للغيب
Dan kecil kemungkinannya, jika suami yang sholeh, melaksanakan kewajiban¬kewajibannya, mendapat respon sebaliknya, yaitu 'perilaku nusyuz' dari isterinya. Sebab itu, dalam kondisi demikian, wajarlah jika suami diperbolehkan untuk memperbaiki perilaku nusyuz isteri dalam tiga tahap, menasehati, pisah ranjang dan memukul yang tidak menyakiti. Akan tetapi, sebelum menimpakan kesalahan kepada isteri yang nusyuz, tentu suami harus introspeksi lebih dulu, apakah dia sudah melaksanakan kewajibannya dengan baik atau belum. Hal ini sesuai dengan awal ayat ini yang menekankan kewajiban suami untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan isteri termasuk memberi
kesempatan berkarya sesuai dengan keahlian isteri.
Introspeksi dapat dilakukan dengan melibatkan isteri untuk merekonstruksi perjalanan hidup yang sudah dilewati berdua. Boleh jadi, ketika suami melakukannya, isteri juga secara otomatis menginstropeksi dirinya sendiri. Bukankah landasan hidup berkeluarga di dalam Islam adalah 'muasyarah bi al ma'ruf' ?. Tentu dalam menyikapi perilaku nusyuz juga harus bil ma'ruf terlebih dulu, sebelum suami melakukan terapi seperti dijelaskan dalam ayat ini. Karena mencintai (mawaddah wa rahmah) adalah melakukan hal-hal yang berdampak positif bagi orang yang dicintai dengan tulus. Hal yang sering muncul dalam wacana 'kesetaraan gender' adalah kritik para feminis bahwa ayat ini memberi kekuasaan yang sangat besar kepada suami, sedangkan posisi isteri sangat rentan. Karena suami diposisikan sebagai pemimpin, dia bisa seenaknya mengatur dan mengendalikan isteri, sedang isteri tidak punya hak untuk menolak, sebab kalau menolak berarti nusyuz.
Menurut hemat penulis kritik semacam itu muncul karena kurang memahami cita hukum al-Qur'an dan secara gegabah membuat kesimpulan-kesimpulan secara parsial. Suami sebagai pemimpin, menurut hemat penulis, adalah untuk melindungi isteri. Dan pemimpin tentu harus ditaati oleh pihak yang dipimpin. Namun boleh jadi yang menjadi sasaran kritik tersebut adalah kepemimpinan yang menonjolkan sisi kekuasaan, seolah bos kepada bawahan. Jika demikian, kritik semacam itu tentu bisa diterima, karena tidak sesuai dengan cita hukum al-Qur'an dan teladan Rasul.
Hal yang harus digarisbawahi juga, nusyuz itu harus didefinisikan yang jelas antara suami isteri. Secara garis besar Ulama menafsirkan nusyuz itu sebagai pembangkangan isteri kepada suami, tidak mentaati perintah suami, menolak ajakan suami untuk berhubungan sex, keluar rumah tanpa izin. Penafsiran tersebut masih gelobal, bagaimana perinciannya tentu hanya masing¬-masing suami isteri yang paling tahu, karena hubungan suami isteri adalah wilayah yang sangat pribadi. Misalnya, suami menginginkan hubungan sex pada saat kondisi isteri lagi kepayahan, penolakan dalam kondisi seperti ini tentu bukan nusyuz.
Ayat tentang nusyuz ditutup dengan peringatan Allah kepada suami, jika isteri sudah salihah, janganlah suami sewenang-wenang kepada isteri dengan mencari-cari kesalahannya. Seolah Allah memberikan ancaman, jika suami sewenang-wenang, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Besar akan memberikan balasan-Nya dan Allah akan melindungi isteri.
Kritik yang lain dari kalangan feminis, adalah mengapa suami diberi hak untuk memukul isteri. Memukul dalam wacana feminis adalah tindakan kekerasan dalam rurnah tangga. Apalagi jika pihak yang dipukul itu harus diam dan pasrah saja, karena tidak ada qisas untuk pemukulan suami kepada isteri.
Untuk kritik tersebut dapat dijelaskan, bahwa pemukulan baru boleh digunakan pada tahap terakhir dalam terapi nusyuz, sesudah nasehat dan pisah ranjang tidak dapat memperbaiki perilaku nusyuz isteri. Jadi suami tidak boleh memukul isteri pada awal nusyuz. Pemukulan itupun menurut Rasulullah tidak boleh melukai, apalagi sampai menyebabkan cedera. sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut :
يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان لكم عليهن الا يوطئن فرسكم احدا تكر هو نه.....فان فعلن فاضر بوهن ضربا مبرح.
"Bersabda Rusululluh SAW : Hak mu (suami) atas isteri adalah hendaknya isteri tidak memasukkan orang yang tidak kau sukai ke rumahmu jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan".

Dan pada hadits yang lain diriwayatkan Abu Daud dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya :
قلت يا رسول الله : ما حق زوجة أحدنا علية ؟ : ان تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا كتسيت ولا تصزب الوجه ولا تقبح، ولا تهجر الا فىالبيت
" Saya bertanya kepada Rasulullah : apa hak isteri kami atas kami (suami)? Rasul menjawab : "Engkau beri makan jika engkau makan, engkau beri pakaian jika engkau berpakai

Berdasarkan hadis itu para ulama berpendapat pemukulan itu harus dengan benda-benda yang halus seperti siwak atau saputangan dan tidak boleh pada bagian¬-bagian yang fital seperti wajah. Namun dari teladan Rasulullah SAW, bisa disimpulkan bahwa pemukulan, walaupun pemukulan ringan, harus semaksimal mungkin dihindari. Pemukulan hanya salah satu instrumen untuk meluruskan penyimpangan, hakikatnya Rasul tidak menghendaki terjadinnya pemukulan suami kepada isteri. Hadits dibawah ini sangat jelas menunjukkan hal tersebut:
لن يضرب خياركم (رواه البيهقي)
Artinya : "Tidak akan pernah memukul seseorang yang baik diantara kamu "(RH. Baihaqi)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah :
ما ضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم خادماله ولاإمراة ولا ضرب بيده شيئا (رواه النساء)
Artinya: "Sekali-kali rasulullah SAW tidak pernah memukul isterinya, pembantunya dan tidak pernah memukul apapun" (HR. Nasa'i)
Dari riwayat-riwayat tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak benar Islam itu melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga. Adapun jika yang nusyuz adalah suami, sedangkan isteri masih mencintai dan menginginkan tetap dalam ikatan perkawinan, maka dianjurkan bagi isteri untuk rnelakukan perdamaian dengan suami, misalnya dengan merelakan hak-haknya seperti nafkah dan tidur bersama tidak dipenuhi oleh suami. Perbedaan perlakuan antara suami yang nusyuz dan isteri yang nusyuz adalah karena posisi suami sebagai pemimpin keluarga. Namun demikian sebaiknya suami tidak nusyuz, karena jika ia mau bersabar terhadap kekurangan-kekurangan isterinya, Allah akan memberikan balasan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi jika isteri tidak bisa menerima nusyuznya suami, maka isteri boleh meminta cerai, sebagaimana dijelaskan dalam surat al¬ Baqarah (2):229
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِه
Artinya : "maka tidak ada dosa atas kedunya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menembus dirinya".
Hanya saja untuk melakukan perceraian, harus dipertimbangkan masak-masak, karena perceraian adalah perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Disamping itu, juga harus mengikuti tata cara perceraian yang ditetapkan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam.




G. Istimbat Hukum
1. Suami adalah pemimpin keluarga. Pengertian "pemimpin keluarga" adalah kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kemaslahatan keluarga dengan mencukupi segala kebutuhan lahir dan batin serta memberi naungan kepada isteri untuk berkembang sesuai dengan kehendak dan pilihannya. Di pihak lain isteri diwajibkan untuk patuh kepada suami.
2. Kepemimpinan suami tersebut, disisi lain juga melimpahkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi nafkah kepada isteri.
3. Pengertian "isteri nusyuz" adalah isteri tidak patuh kepada suami, mengabaikan perintahnya, menolak ajakan berhubungan sex, keluar rumah tanpa izin suami dan perilaku-perilaku lain yang tidak disukai suami. Pengertian tersebut masih sangat umum (global). Perinciannya boleh dimusyawarahkan antara suami isteri, sehingga ada rambu-rambu yang jelas yang diketahui bersama, sehingga bisa diketahui bersama kapan suatu perilaku dianggap nusyuz, berdasarkan muasyarah bi al-ma'ruf.
4. Jika isteri nusyuz (membangkang), maka suami boleh melakukan tiga cara untuk meluruskannya secara berurutan, yaitu, Pertama, menasehati; Kedua, tidak mempergauli dan Ketiga, memukul yang tidak menyakitkan. Namun demikian sebelum melakukan cara-cara tersebut, hendaknya suami terlebih dulu melakukan introspeksi, agar dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik. demi keutuhan dan keharmonisan keluarga.
5. Pemukulan yang ringan, walaupun dibolehkan, sebaiknya dihindari, karena rnerupakan perilaku yang tidak terpuji. Dengan demikian tidak benar jika dikatakan Islam meligitimasi kekerasan dalam rumah tangga.
6. Jika istri shalehah, taat, maka suami sama sekali tidak boleh menyakiti, misalnya dengan rnencari-cari kesalahannya.
7. Pengertian "suami nusyuz" adalah suami sudah tidak menghendaki isterinya lagi bahkan ada tanda-tanda akan merencanakannya.
8. Jika suami yang nusyuz, isteri boleh melakukan perdamaian dengan merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya. Misalnya ia rela tidak diberi nafkah, atau tidak dipergauli demi menyelamatkan keutuhan perkawinan. Perdamaian seperti itu lebih baik dibandingkan perceraian dan lebih disukai oleh Allah SWT.
9. Suami sebaiknya bersabar terhadap kekurangan-kekurangan isteri, karena bersabar itu lebih baik dibandingkan nusyuz dan perceraian, dan Allah akan memberi balasan yang baik terhadap kesabarannya.
Wahhahu `alam bi al-shawaab.













DAFTAR PUSTAKA

, (1351-1931), Huquuq al-Mar'ah al-Muslimah, (Cairo: Matba'ah al-manar M).
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur'an dan Terjemahannya
Hasyim, Syafiq, (2001), Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan).
Jashshosh, al, Abu Bakar Ahmad al-razy, (t.th), Ahkam al-Qur'an, (Beirut- Lubnan: Dar al-Fikr).
Katsir, Ismail bin, (t.th), tafsir al-Qur'an al-Adlim, Maktabah Misro.
Mas'udi, Masdar Farid, (2000), Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan).
Ridha, Muhammad Rasyid, (t.th), Tafsir al-Qur'an al-hakim (al-tafsir al-Manar), (Beirut- Lubnan: Dar al-Fikr).
Sabiq Al-Sayyid, (t.th), Fiqh Sunnah, (Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr).
Shabuni, al, Muhammad Ali, (t.th), Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut-Lukban: Dar al-Fikr).
Syihab, Qurasy, (2000), Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati).
Tabari, al, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid, (1418-1998), Tafsir al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir).
Zuhaily, Wahbah, (1418-1998), Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir).

Read More..

FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Dalam Persepektif Sosiologi)

A. PENDAHULUAN
Perkawinan beda agama di Indonesia, secara obyektif sosiologis, adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama sehingga pergaulan yang terbuka antara pemeluk berbagai agama tidak dapat dihindari. Terjadinya saling jatuh cinta antara orang-orang yang berbeda agama kemudian meningkat pada perkawinan adalah kenyataan yang sulit dielakkan. Namun perkawinan tidak hanya bersifat sosiologis karena di dalamnya terkandung dimensi teologis. Sebab itu, semua agama mempunyai peraturan-peraturan perkawinan yang berkaitan dengan akibat-akibatnya, termasuk sah atau tidaknya perkawinan beda agama.
Realitasnya perkawinan beda agama di Indonesia berkali-kali menjadi polemik yang hangat antara tokoh-tokoh agama, baik internal Islam maupun dengan tokoh agama lain. Hal ini dapat dicermati sejak menjelang ditetapkannya Undang-undang perkawinan No. I Tahun 1974. Kemudian sekitar tahun 1980 ketika banyak media massa memberitakan banyaknya perkawinan beda agama, terutama antara pemeluk agama Islam dan Kristen, sehingga MUI pusat sampai mengeluarkan fatwa yang melarang beda agama, hingga tahun 1992 ketika Munawir Syadzali (saat itu menteri agama) melontarkan pernyataan perlunya dicarika formulasi untuk mengatur perkawinan beda agama, untuk menyempurnakan Undang-undang perkawinan No. I tahun 1974. Lontaran Munawir itu mendapat tanggapan yang sangat ramai dari tokoh-tokoh agama dan ahli hukum. Hingga tahun 2003, perkawinan beda agama tetap menjadi polemik hangat. Ketika rubrik mingguan Kajian Islam Utan Kayu di koran Jawa Pos mengangkat tema perkawina beda agama dengan sikap mendukung perkawinan beda agama, demikian pula ketika Rancangan Undang-undang Terapan Peradilan Agama dibahas, salah satu isu yang muncul adalah bahwa kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada sekarang ini dinilai tidak akomodatif terhadap pluralisme.
Semenjak polemik menjelang disyahkannya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sampai tahun 2003 dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Terapan Perdilan Agama, status hukum perkawinan beda agama tidak berubah, yakni tetap dilarang. Di dalam KHI disebutkan secara rinci larangan perkawinan beda agama bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Pasal 40 KHI menyebutkan:

Dilarang melengsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih dalam masa ‘iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam, (cetak miring dari penulis).
Juga pasal 44:
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Demikian pula fatwa MUI, semenjak dikeluarkan pada tahun 1980, hingga sekarang tidak ada peninjauan atau perubahan, tetap melarang perkawinan beda agama, meskipun dalam rentang waktu yang panjang tersebut, beberapa media massa sering memberitakan terjadinya perkawinan beda agama.
Peraturan tersebut secara ekplisit berbeda dengan al Qur’an, surat al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-Kitab yang menjaga kehormatannya (mubshanat), juga berbeda dengan sejarah yang mencatat bahwa nabi SAW dan beberapa sahabat menikah dengan wanita ahl al-kitab serta mazhab fiqih yang 4 yang lazimnya menjadi rujukan ulama Indonesia dalam menetapkan hukum, membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Dari uraian di atas patut dipertanyakan, mengapa fatwa MUI, tentang peraturan perkawinan beda agama di Indonesia berbeda dengan sumber rujukan yang lazimnya digunakan? Peraturan itupun memberi kesan menutup sisi inklusif ajaran Islam.
Akibat dari larangan tersebut, mereka yang melaksanakan perkawinan beda agama, mencari cara sendiri untuk mengesahkan perkawinan mereka. Di antara cara itu adalah menikah di luar negeri, seperti dilakukan oleh beberapa artis, berpura-pura pindah agama, atau tetap dalam agama masing-masing namun dalam melaksanakan pernikahan menundukkan diri kepada salah satu agama pasangannya. Cara yang terakhir ini harus melalui prosedur yang cukup rumit.
Menurut sosiologi hukum, tidak ada satu pun institusi kemasyarakatan yang berdiri sendiri, termasuk institusi hukum. Suatu institusi selalu berinteraksi dengan institusi lain. Sehingga suatu ketetapan hukum selalu berkaitan dengan institusi-institusi lain, misalnya sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Berdasarkan perspektif sosiologi hukum tersebut, penulis menetapkan masalah yang diajukan dalam makalah ini, ”Apakah faktor yang melatarbelakangi fatwa MUI tentang perkawinan beda agama di Indonesia?”
Metode pembahasan yang penulis gunakan adalah meneliti peristiwa-peristiwa yang diduga memiliki hubungan yang signifikan dengan dikeluarkannya fatwa MUI entang larangan pernikahan beda agama.

B. Fatua MUI Tentang Larangan Perkawinan Beda Agama Dan Setting Historisnya.
Fatwa MUI yang melarang perkawinan beda agama adalah keputusan yang bertanggal 1 Juni 1980, NO. 05/Kep. Munas II/MUI dan ditandatangani oleh ketuanya, Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah, dan sekretaris, Drs. Kafrawi.
Fatwa tersebut menetapkan bahwa perkawinan antara wanita muslim dan laki-laki non muslim adalah dilarang. Demikian pula, dilarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Meskipun ada perbedaan pendapat ulama (khilafiyyah) tentang apakah laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita non muslim dari kalangan ahl al-Kitab, MUI menyetujui untuk melarang jenis perkawinan ini dengan mempertimbangkan mafsadatnya yang lebih besar dibandingkan maslahatnya.
Fatwa MUI tersebut berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis sebagai berikut.
Pertama, surat al-Baqarah (2), 221:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-oarang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izan-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Kedua, surat al-Maidah (5), 5:
pada hari ini dihalalkan bagimu yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.

Ketiga, laki-laki non muslim tidak boleh menikahi wanita muslim.
Keempat, bahwa orang-orang beriman harus menjaga keluarganya dari api neraka.
Kelima, hadis yang menjelaskan bahwa nikah adalah separo dari agama.
Terakhir, berdasarkan kepada hadisyang menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Di dalam khazanah Fiqh, larangan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-Kitab merupakan pemahaman agama yang bersikap keras terhadap ahl al-kitab. Dari golongan sahabat yang dikenal bersikap keras terhadap ahl al-Kitab adalah Ibn Umar. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Ibnu Umar ditanya mengenai menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab, “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi kaum Muslim. Aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari pada seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seorang dari hamba Allah”. Kelompok yang segaris pemahaman dengan Ibnu Umar golongan Syiah Imamiyah. Namun, menurut al-Qurthuby, pendapat ini dinilai menyimpang dari pendapat mayoritas Ulama.
Sedangkan para imam mazhab empat pada prinsipnya mempunyai pendapat yang sama, yaitu wanita kitabiyyah boleh dinikahi sekalipun berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan, atau meyakini kebenaran trinitas yang merupakan syirik yang nyata. Alasan yang dikemukakan adalah mereka mempunyai kitab samawi sebagai bentuk takhsis. Kesimpulan senada juga dilontarkan oleh Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa menikah dengan wanita kitabiyyah adalah boleh dan hal itu merupakan pendapat jumhur ulama’ salaf. Bahkan Rasyid Ridla berpendapat bahwa musyrik yang diharamkan dalam surat al-Baqarah: 221 tersebut dikhususkan pada musyrik yang berada di jazirah Arab saja pada saat diturunkannya al Qur-‘an.
MUI tidak tegas dalam pernyatannya. MUI tidak menjelaskan apakah posisi ahl al-kitab sama musyrik. Fatwa tersebut hanya menyebutkan ada perbedaan pendapat tentang kebolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab fatwa tersebut akhirnya menyimpulkan, karena lebih banyak mafsadahnya dibanding maslahatnya, maka MUI menetapkan keharaman menikah dengan ahl al-kitab. Argumen yang dibangun dalam fatwa tersebut tampak semata-mata berdasarkan pertimbangan agama.
Fatwa ini mengandung beberapa kejanggalan. Yang paling menonjol adalah adanya isi yang berseberangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan pendapat jumhur Ulama, dimana sumber-sumber itu lazimnya selalu menjadi rujukan MUI. Dalam fatwa ini, MUI tampak tidak konsisten dengan metode yang lazim digunakannya.
Untuk memahami inkonsistensi tersebut secara komprehensif, kiranya perlu diketahui latar belakang munculnya fatwa tersebut. Beberapa peristiwa sosial politik yang mengitari ulama dan tokoh-tokoh agama lain di Indonesia pada dekade tersebut perlu dicermati dalam rangka menemukan jawabannya sekaligus memahami fatwa tersebut secara proporsional.
Pada dekade 1970/1980, banyak media massa memberitakan terjadinya perkawinana beda agama. Sinar Harapan yang dikenal sebagai koran Kristen misalnya, memeberitakan terjadinya pernikahan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim yang dilaksanakan dengan mengikuti tata cara calon suami dan menyebut perkawinan seperti itu sebagai “perkawinan pancasila”. MUI menganggap ide tentang perkawinan pancasila sebagai mengabaikan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, MUI merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa untuk mencegah praktik tersebut. Fatwa ini dikeluarkan oleh MUI Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1975. argument yang disampaikan adalah bahwa pernikahan pada dasarnya bukan hanya masalah reproduksi dan interaksi sosial, melainkan juga masalah ibadah. Oleh karenanya, Islam melarang wanita muslim menikah dengan laki-laki non muslim. Fatwa tersebut mengijinkan laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim jika berkeyakinan dapat membimbing anak-anaknya menjadi muslim. Sebaliknya, fatwa tersebut melarang laki-laki non muslim menikahi wanita muslim sebelum laki-laki itu masuk Islam. Lebih jauh, jika laki-laki non muslim tersebut mau masuk Islam, wali dari wanita muslim tersebut diharuskan meminta perjanjian tertulis dengan laki-laki tersebut, yang isinya bahwa pernikahan tersebut batal, jika laki-laki non muslim itu kembali memeluk agamanya yang semula. Fatwa MUI Jakarta ini ditandatangani oleh Abdullah Syafi’i sebagai ketua dan Ghazali Syahlan sebagai sekretaris.
Beberapa tahun kemudian, tanggal 30 September 1986, MUI Jakarta kembali mengeluarkan fatwa dalam bentuk surat terbuka yang menganjurkan supaya orang muslim tidak menikah beda agama dalam kondisi apapun. Fatwa tersebut merupakan jawaban dari sebuah surat yang dikirim Nasimul Falah, yang menanyakan status perkawinan antara bintang film Lidya Kandow yang beragama Kristen dengan Djamal Mirdad yang beragama Islam. Juga merupakan jawaban dari beberapa artikel di media massa, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat. Selama bulan Juli 1986 terjadi 239 perkawinan beda agama yang meliputi 112 laki-laki muslim dan 127 wanita muslim.
Lebih lanjut, surat terbuka tersebut menyatakan bahwa jika salah satu pasangan beragama Islam, seharusnya perkawinan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Untuk itu, surat tersebut meminta supaya kantor catatan sipil tidak melayani pencatatan perkawinan yang seharusnya menurut aturan dicatat di KUA. Hal tersebut, menurut surat itu, sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 1 tahun 1974.
MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa untuk kasus-kasus lain. Pada tahun 1978, MUI mendukung dengan tegas keputusan Pemerintah untuk membatasi jumlah misionaris asing di Indonesia dan mengatur bantuan asing yang diberikan lewat gereja-gereja. Kemudian pada tahun 1981, MUI mengeluarkan fatwa melarang orang Muslim mengikuti perayaan Natal.
Ketika Rancangan Undang-undang (RUU) perkawinan diserahkan pemerintah kepada DPR dan dipublikasikan kepada masyarakat pada tahun 1973, golongan Islam menanggapi dengan keras yang intinya menyatakan bahwa banyak pasal-pasal RUU tersebut yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Peraturan perkawinan yang dianut oleh golongan mayoritas diabaikan sedangkan golongan minoritas diutamakan. RUU tersebut dipandang sangat mengabaikan peraturan perkawinan Islam yang sudah melembaga, sejak Indonesia dalam pemerintahan Balanda.
Ada beberapa pasal yang mendapat sorotan tajam. Di antaranya adalah pasal 10 ayat 2:
“Perbedaan dalam hal kebangsan, suku, asal negara, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak boleh menghalangi suatu perkawinan”. (cetak miring dari penulis)

Tidak cukup dengan memberi tanggapan keras di media massa yang bahkan sudah menjadi perang pernyataan, organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi dan menguasai gedung DPR di Senayan untuk mendesak supaya pasal-pasal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dalam RUU tersebut dirubah. Karena itu, disahkannya UU Perkawinan No.1 tahun 1974 adalah perjuangan yang keras dan melelahkan bagi umat Islam.
Di antara pernyataan yang paling keras dalam menanggapi Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama. Beliau berpendapat bahwa ada “kristenisasi dalam selubung” di dalam pasal 10 ayat 2, di mana perbedaan agama tidak menjadi halangan perkawinan. Rasyidi juga mengemukakan beberapa cara kristenisasi yang dijalankan oleh missionaries di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah gereja-gereja dibangun di tengah-tengah perkampungan umat Islam, di ladang persawahan dan di lokasi strategis di kota-kota besar melebihi kenyataan jumlah orang-orang Kristen di tempat-tempat itu. Gereja membagi-bagikan beras, pakaian, dan uang serta bea siswa sekolah kepada orang-orang Islam yang miskin; gadis-gadis Kristen, pemuda-pemuda Kristen merayu pemuda dan gadis muslim agar masuk Kristen.
Ketika Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disahkan, golongan Kristen sangat kecewa. Mereka mengeluarkan memorandum yang mengemukakan pandangan dasar mereka, memorandum tersebut berjudul, “Negara perlu memberikan ruang untuk kawin sah menurut hukum negara”. Rasyidi menanggapi memorandum tersebut, dengan menyatakan, “Memorandum tersebut hanya mengemukakan problem yang dibuat-buat dengan argumentasi yang tidak bernilai yang intinya adalah, “janganlah mengatur perkawinan umat Islam, karena pemerintah tidak ada hubungannya dengan agama, seseoarang harus boleh kawin menurut suatu hukum di luar agama”.
Jika pandangan kita arahkan pada dekade yang sebelumnya, pada akhir tahun enam puluhan, kita akan menemukan bahwa dua komunitas agama di Indonesia, Muslim dan Kristen, memang terlibat pertikaian dalam penyebaran agama. Tokoh terkemuka Islam antara lain M. Natsir, juga M. Rasyidi mengemukakan adanya rencana golongan Kristen dengan dukungan umat Kristen internasional untuk mengkristenkan Indonesia. Bahkan Muhammadiyah mengeluarkan sebuah pamflet pada tahun 1964, yang bertujuan menyadarkan kaum Muslim akan kegiatan missionaries kristen di Jawa. Pamphlet itu menekankan pada rencana kristenisasi rakyat Indonesia”. Pamphlet itu mengacu pada makalah tanpa nama yang disebarkan di Jawa berkenaan dengan konferensi Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan yang diselenggarakan di Jawa Timur pada 1962. Konferensi tersebut dituduh telah membuat rencana matang untuk mengkristenkan pulau Jawa dalam jangka waktu 20 tahun dan seluruh Indonesia dalam jangka waktu 50 tahun. Program-program tersebut antara lain pembangunan sekolah-sekolah dan anjuran perkawinan antara gadis-gadis Kristen yang beriman kuat dengan pria muslim yang beriman lemah. (cetak miring dari penulis)
Berbagai peristiwa di atas dapat mengantarkan kita pada kesimpulan tentang adanya ketegangan bahkan pertikaian antara dua komunitas agama di Indonesia, Muslim dan Kristen yang tampak berlarut-larut dan tidak kunjung menemukan penyelesaian. Secara logis, pertikaian itu akan mempengaruhi beberapa hubungan antara dua komunitas tersebut di sejumlah bidang, seperti sosial, politik, ekonomi termasuk di dalam menentukan isi fatwa. Sebab itu, bisa disimpulkan, dalam perspektif sosiologi, fatwa MUI tentang larangan perkawinan beda agama sangat dipengaruhi oleh ketegangan hubungan antara komunitas Muslim dan Kristen.

C. Perkawinan Beda Agama Masa Kini: Peluang Dan Tantangan
Hingga saat ini fatwa MUI belum dicabut. Hal ini berarti MUI sampai sekarang tetap melarang perkawinan beda agama. Sedangkan KHI, yang statusnya akan berubah menjadi Undang-Undang Terapan Peradilan Agama, dalam pembahasan rancangannya juga tetap melarang perkawinan beda agama. Sedangkan untuk UU Perkawinan No.1 tahun 1974, belum banyak terdengar suara-suara yang menginginkan perubahan UU tersebut, walaupun menurut teori hukum, durasi waktu 29 tahun sangat meniscayakan adanya evaluasi terhadap sebuah undang-undang. Belum adanya inisiatif untuk reformasi terhadap Undang-Undang Perkawinan itu boleh jadi karena kenangan lama yang menyakitkan, yang melibatkan dua komunitas agama, Muslim dan Kristen, pada saat pembahasan dan pengesahan undang-undang tersebut.
Mayoritas muslim tampak tetap mendukung larangan tersebut, hanya ada sedikit tokoh muslim yang eksplisit menolaknya. tahun 1992, misalnya, Munawir Syadzali melontarkan ide untuk membuat peraturan perkawina antar agama sebagai upaya penyempurnaan undang- undang perkawinan No. 1 tahun 1974. Menurut Munawir, undang- undang tersebut belum mengatur masalah ini secara jelas. Argumentasi yang dilontarkan Munawir adalah perkawinan dan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihambat oleh peraturan apapun. Tidak adanya peraturan perkawinan beda agama menyebabkan mereka yang melaksanakan perkawinan beda agama mencari jalan sendiri untuk mengesahkan perkawinan mereka, bahkan ada di antaranya yang kumpul kebo. Usulan Munawir tersebut mendapat dukungan dari tokoh-tokoh pemerintah, seperti Ali Said (Ketua Mahkamah Agung), Ismail Saleh (Menteri Kehakiman), dan Rudini (Menteri Dalam Negeri), serta sejumlah tokoh-tokoh Kristen dan ahli-ahli hukum. Namun tokoh-tokoh Muslim mengkritik keras usulan Munawir. Di antara mereka adalah Hasan Basri (ketua MUI), Bismar Siregar (Hakim Agung), Syeichul Hadi Permono (dosen IAIN Sunan Ampel), Harun Nasution (Profesor ilmu Kalam IAIN Syarif Hidayatullah) dan Zakiyah Daradjat (dosen dan psikolog). Argumentasi yang dikemukakan adalah problem perkawinan beda agama bukan hanya masalah hukum melainkan menyangkut keimanan. Juga, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak menyetujuinya.
Tahun 2001, dalam konteks rancangan perubahan fungsi Kantor Catatan Sipil, sejumlah sarjana agama termasuk Ulil Abshar Abdalla, seorang peneliti dari kalangan NU dan redaktur Kajian Islam Utan Kayu, mengemukakan pandangannya bahwa Kantor Catatan Sipil seharusnya mencatat perkawinan beda agama. “Harus dibedakan antara pemberkatan perkawinan oleh suatu agama dengan pencatatan”, demikian kata Ulil. Pendapan Ulil tersebut didukung oleh Mudji Sutrisno, seorang pastor, “Saya kira ini adalah jalan keluar terhadap kebuntuan perkawinan beda agama serta merupakan penghargaan kepada perbedaan agama, karena dengan demikian setiap orang dapat memelihara agamanya”. Budiman, dari masyarakat Budha Indonesia (MBI), juga setuju dengan Ulil. Menurut Budiman pada bulan Desember 2001, terdapat 5000 pasangan Indonesia dalam daftar tunggu pencatatan perkawinan di Singapura.
Terakhir, tahun 2004, penerbit Paramadina, menerbitkan buku berjudul Fiqh Lintas Agama. Buku tersebut menolak secara jelas larangan perkawinan beda agama, tidak saja antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim bahkan juga antara wanita muslim dengan laki-laki non muslim.

D. Kesimpulan
Fatwa MUI tentang larangan perkawinan beda agama ditetapkan berdasarkan dalil-dalil agama, sebagaimana dicantumkan dalam fatwa, peristiwa-peristiwa yang terkait dengan hubungan antar agama, terutama antara Islam dan Kristen, tampaknya pengaruh latar belakang sosialnya lebih kuat dibandingkan dalil-dalil yang digunakan. Latar belakang sosial itu adalah terjadinya ketegangan dalam penyebaran agama, antara Islam dan Kristen, yang sudah berlangsung lama. MUI dengan fatwa tersebut mengesankan hendak melindungi umat Islam dari penetrasi Kristenisasi yang sangat kuat, karena didukung dana internasional. Oleh sebab itu, tidak sebagaimana lazimnya, fatwa tersebut tidak mengambil dalil yang lebih kuat, yaitu al-Qur’an, surat al-Maidah: 5:5, yang secara eksplisit menghalalkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah, praktek sahabat dan pendapat mayoritas ulama. Di dalam hal ini terdapat perbedaan antara Fiqh dengan Fiqh siyasah. Menurut Fiqh, pernikahan antara laki-laki muslim yang kuat imannya dengan wanita kitabiyyah yang muhshanat (baik) hukumnya mubah, namun menurut siyasah di Indonesia hukumnya adalah haram.
Sampai sekarang fatwa tersebut belum dicabut, perkawinan beda agama tetap dilarang, meskipun bukan tanpa penolakandari internal Islam sendiri. Namun, kelompok yang menolak bisa dikatakan sangat kecil jika dibandingkan dengan kelompok yang mendukung. Wallahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an al-Karim, Tarjamah Depag.
B. KELOMPOK TAFSIR/HADIS
Al-Jaziry, (1417/1996), Kitab Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr).
Hosen, Ibrahim, (1971), Fiqh Perbandingan, (Djakarta: Yayasan Ihya’ ‘Ulumuddin Indonesia).
Hazm, Ibn, (1408/1988), al-Muhalla bi al-Asar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
Ridla, Muhammad Rasyid, (1977), Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr).
Taimiyyah, Ibn, (1398 H), Majmu’ Fatawa, (Al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Saudiyyah).
C. KELOMPOK BUKU HUBUNGAN ANTA AGAMA
Aqsha, Darul. Et all, (1995), Islam in Indonesia: A Survey of Event and Developments from 1988 to March 1993,(Jakarta: INIS).
Ali, Muhammad, (2002), “Fatwas on Interfaith Marriage in Indonesia” in STUDI ISLAMIKA, Volume 9, Number 3.
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwas of the Council of the Indonesian Ulama: a Study of Islamic Legal thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta : INIS, 1993
Majelis Ulama Indonesia, (1994), Himapunan Ketetapan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia).
Rasyidi, Muhammad, (1976), “The Role of Christian Mission, The Indonesian Experience” dalam International Review of Mission Volume LXV No. 260 Oktober.
Soekanto, Soeryono, (1997), Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo).
Syihab, Alwi, (1998), Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan).
D. KELOMPOK UNDANG-UNDANG DAN FATWA
Undang-undang Perkawinan No. I/1974.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9/1975
Kompilasi Hukum Islam
E. KELOMPOK ARTIKEL
Hamka, “Rancangan Undang-undang Tentang Perkawinan”, Panji Masyarakat, No. 133 Tahun 1973.
Ibrahim Hosen, “Perkawinan Muslim dan Non Muslim”, Mimbar Ulama, November/Desember 1977.
Natsir, M. “Misi dan Zending Menjadikan Ummat Islam sebagai Sasarannya” Al-Djami’ah, Sunan Kalijaga Mei 1968.
Rasyidi, M. “Sekitar RUU Perkawinan, Bukankah Aku Telah Memperingatkan”, Panji Masyarakat”, 15 januari 1974.
Suara Muhammadiyah, No.3/77/1992 Februari 1992.

Read More..