BUKU TAMU

FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Dalam Persepektif Sosiologi)

Senin, 13 Juli 2009

A. PENDAHULUAN
Perkawinan beda agama di Indonesia, secara obyektif sosiologis, adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama sehingga pergaulan yang terbuka antara pemeluk berbagai agama tidak dapat dihindari. Terjadinya saling jatuh cinta antara orang-orang yang berbeda agama kemudian meningkat pada perkawinan adalah kenyataan yang sulit dielakkan. Namun perkawinan tidak hanya bersifat sosiologis karena di dalamnya terkandung dimensi teologis. Sebab itu, semua agama mempunyai peraturan-peraturan perkawinan yang berkaitan dengan akibat-akibatnya, termasuk sah atau tidaknya perkawinan beda agama.
Realitasnya perkawinan beda agama di Indonesia berkali-kali menjadi polemik yang hangat antara tokoh-tokoh agama, baik internal Islam maupun dengan tokoh agama lain. Hal ini dapat dicermati sejak menjelang ditetapkannya Undang-undang perkawinan No. I Tahun 1974. Kemudian sekitar tahun 1980 ketika banyak media massa memberitakan banyaknya perkawinan beda agama, terutama antara pemeluk agama Islam dan Kristen, sehingga MUI pusat sampai mengeluarkan fatwa yang melarang beda agama, hingga tahun 1992 ketika Munawir Syadzali (saat itu menteri agama) melontarkan pernyataan perlunya dicarika formulasi untuk mengatur perkawinan beda agama, untuk menyempurnakan Undang-undang perkawinan No. I tahun 1974. Lontaran Munawir itu mendapat tanggapan yang sangat ramai dari tokoh-tokoh agama dan ahli hukum. Hingga tahun 2003, perkawinan beda agama tetap menjadi polemik hangat. Ketika rubrik mingguan Kajian Islam Utan Kayu di koran Jawa Pos mengangkat tema perkawina beda agama dengan sikap mendukung perkawinan beda agama, demikian pula ketika Rancangan Undang-undang Terapan Peradilan Agama dibahas, salah satu isu yang muncul adalah bahwa kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ada sekarang ini dinilai tidak akomodatif terhadap pluralisme.
Semenjak polemik menjelang disyahkannya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sampai tahun 2003 dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Terapan Perdilan Agama, status hukum perkawinan beda agama tidak berubah, yakni tetap dilarang. Di dalam KHI disebutkan secara rinci larangan perkawinan beda agama bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Pasal 40 KHI menyebutkan:

Dilarang melengsungkan perkawinan antara seorang pria dan wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih dalam masa ‘iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam, (cetak miring dari penulis).
Juga pasal 44:
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Demikian pula fatwa MUI, semenjak dikeluarkan pada tahun 1980, hingga sekarang tidak ada peninjauan atau perubahan, tetap melarang perkawinan beda agama, meskipun dalam rentang waktu yang panjang tersebut, beberapa media massa sering memberitakan terjadinya perkawinan beda agama.
Peraturan tersebut secara ekplisit berbeda dengan al Qur’an, surat al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-Kitab yang menjaga kehormatannya (mubshanat), juga berbeda dengan sejarah yang mencatat bahwa nabi SAW dan beberapa sahabat menikah dengan wanita ahl al-kitab serta mazhab fiqih yang 4 yang lazimnya menjadi rujukan ulama Indonesia dalam menetapkan hukum, membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Dari uraian di atas patut dipertanyakan, mengapa fatwa MUI, tentang peraturan perkawinan beda agama di Indonesia berbeda dengan sumber rujukan yang lazimnya digunakan? Peraturan itupun memberi kesan menutup sisi inklusif ajaran Islam.
Akibat dari larangan tersebut, mereka yang melaksanakan perkawinan beda agama, mencari cara sendiri untuk mengesahkan perkawinan mereka. Di antara cara itu adalah menikah di luar negeri, seperti dilakukan oleh beberapa artis, berpura-pura pindah agama, atau tetap dalam agama masing-masing namun dalam melaksanakan pernikahan menundukkan diri kepada salah satu agama pasangannya. Cara yang terakhir ini harus melalui prosedur yang cukup rumit.
Menurut sosiologi hukum, tidak ada satu pun institusi kemasyarakatan yang berdiri sendiri, termasuk institusi hukum. Suatu institusi selalu berinteraksi dengan institusi lain. Sehingga suatu ketetapan hukum selalu berkaitan dengan institusi-institusi lain, misalnya sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Berdasarkan perspektif sosiologi hukum tersebut, penulis menetapkan masalah yang diajukan dalam makalah ini, ”Apakah faktor yang melatarbelakangi fatwa MUI tentang perkawinan beda agama di Indonesia?”
Metode pembahasan yang penulis gunakan adalah meneliti peristiwa-peristiwa yang diduga memiliki hubungan yang signifikan dengan dikeluarkannya fatwa MUI entang larangan pernikahan beda agama.

B. Fatua MUI Tentang Larangan Perkawinan Beda Agama Dan Setting Historisnya.
Fatwa MUI yang melarang perkawinan beda agama adalah keputusan yang bertanggal 1 Juni 1980, NO. 05/Kep. Munas II/MUI dan ditandatangani oleh ketuanya, Hamka, seorang tokoh Muhammadiyah, dan sekretaris, Drs. Kafrawi.
Fatwa tersebut menetapkan bahwa perkawinan antara wanita muslim dan laki-laki non muslim adalah dilarang. Demikian pula, dilarang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Meskipun ada perbedaan pendapat ulama (khilafiyyah) tentang apakah laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita non muslim dari kalangan ahl al-Kitab, MUI menyetujui untuk melarang jenis perkawinan ini dengan mempertimbangkan mafsadatnya yang lebih besar dibandingkan maslahatnya.
Fatwa MUI tersebut berdasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis sebagai berikut.
Pertama, surat al-Baqarah (2), 221:
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-oarang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izan-Nya. Dan Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Kedua, surat al-Maidah (5), 5:
pada hari ini dihalalkan bagimu yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.

Ketiga, laki-laki non muslim tidak boleh menikahi wanita muslim.
Keempat, bahwa orang-orang beriman harus menjaga keluarganya dari api neraka.
Kelima, hadis yang menjelaskan bahwa nikah adalah separo dari agama.
Terakhir, berdasarkan kepada hadisyang menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Di dalam khazanah Fiqh, larangan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-Kitab merupakan pemahaman agama yang bersikap keras terhadap ahl al-kitab. Dari golongan sahabat yang dikenal bersikap keras terhadap ahl al-Kitab adalah Ibn Umar. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Ibnu Umar ditanya mengenai menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab, “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi kaum Muslim. Aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari pada seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seorang dari hamba Allah”. Kelompok yang segaris pemahaman dengan Ibnu Umar golongan Syiah Imamiyah. Namun, menurut al-Qurthuby, pendapat ini dinilai menyimpang dari pendapat mayoritas Ulama.
Sedangkan para imam mazhab empat pada prinsipnya mempunyai pendapat yang sama, yaitu wanita kitabiyyah boleh dinikahi sekalipun berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan, atau meyakini kebenaran trinitas yang merupakan syirik yang nyata. Alasan yang dikemukakan adalah mereka mempunyai kitab samawi sebagai bentuk takhsis. Kesimpulan senada juga dilontarkan oleh Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa menikah dengan wanita kitabiyyah adalah boleh dan hal itu merupakan pendapat jumhur ulama’ salaf. Bahkan Rasyid Ridla berpendapat bahwa musyrik yang diharamkan dalam surat al-Baqarah: 221 tersebut dikhususkan pada musyrik yang berada di jazirah Arab saja pada saat diturunkannya al Qur-‘an.
MUI tidak tegas dalam pernyatannya. MUI tidak menjelaskan apakah posisi ahl al-kitab sama musyrik. Fatwa tersebut hanya menyebutkan ada perbedaan pendapat tentang kebolehan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab fatwa tersebut akhirnya menyimpulkan, karena lebih banyak mafsadahnya dibanding maslahatnya, maka MUI menetapkan keharaman menikah dengan ahl al-kitab. Argumen yang dibangun dalam fatwa tersebut tampak semata-mata berdasarkan pertimbangan agama.
Fatwa ini mengandung beberapa kejanggalan. Yang paling menonjol adalah adanya isi yang berseberangan dengan al-Qur’an, sunnah, dan pendapat jumhur Ulama, dimana sumber-sumber itu lazimnya selalu menjadi rujukan MUI. Dalam fatwa ini, MUI tampak tidak konsisten dengan metode yang lazim digunakannya.
Untuk memahami inkonsistensi tersebut secara komprehensif, kiranya perlu diketahui latar belakang munculnya fatwa tersebut. Beberapa peristiwa sosial politik yang mengitari ulama dan tokoh-tokoh agama lain di Indonesia pada dekade tersebut perlu dicermati dalam rangka menemukan jawabannya sekaligus memahami fatwa tersebut secara proporsional.
Pada dekade 1970/1980, banyak media massa memberitakan terjadinya perkawinana beda agama. Sinar Harapan yang dikenal sebagai koran Kristen misalnya, memeberitakan terjadinya pernikahan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim yang dilaksanakan dengan mengikuti tata cara calon suami dan menyebut perkawinan seperti itu sebagai “perkawinan pancasila”. MUI menganggap ide tentang perkawinan pancasila sebagai mengabaikan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, MUI merasa perlu untuk mengeluarkan fatwa untuk mencegah praktik tersebut. Fatwa ini dikeluarkan oleh MUI Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1975. argument yang disampaikan adalah bahwa pernikahan pada dasarnya bukan hanya masalah reproduksi dan interaksi sosial, melainkan juga masalah ibadah. Oleh karenanya, Islam melarang wanita muslim menikah dengan laki-laki non muslim. Fatwa tersebut mengijinkan laki-laki muslim menikah dengan wanita non muslim jika berkeyakinan dapat membimbing anak-anaknya menjadi muslim. Sebaliknya, fatwa tersebut melarang laki-laki non muslim menikahi wanita muslim sebelum laki-laki itu masuk Islam. Lebih jauh, jika laki-laki non muslim tersebut mau masuk Islam, wali dari wanita muslim tersebut diharuskan meminta perjanjian tertulis dengan laki-laki tersebut, yang isinya bahwa pernikahan tersebut batal, jika laki-laki non muslim itu kembali memeluk agamanya yang semula. Fatwa MUI Jakarta ini ditandatangani oleh Abdullah Syafi’i sebagai ketua dan Ghazali Syahlan sebagai sekretaris.
Beberapa tahun kemudian, tanggal 30 September 1986, MUI Jakarta kembali mengeluarkan fatwa dalam bentuk surat terbuka yang menganjurkan supaya orang muslim tidak menikah beda agama dalam kondisi apapun. Fatwa tersebut merupakan jawaban dari sebuah surat yang dikirim Nasimul Falah, yang menanyakan status perkawinan antara bintang film Lidya Kandow yang beragama Kristen dengan Djamal Mirdad yang beragama Islam. Juga merupakan jawaban dari beberapa artikel di media massa, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat. Selama bulan Juli 1986 terjadi 239 perkawinan beda agama yang meliputi 112 laki-laki muslim dan 127 wanita muslim.
Lebih lanjut, surat terbuka tersebut menyatakan bahwa jika salah satu pasangan beragama Islam, seharusnya perkawinan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Untuk itu, surat tersebut meminta supaya kantor catatan sipil tidak melayani pencatatan perkawinan yang seharusnya menurut aturan dicatat di KUA. Hal tersebut, menurut surat itu, sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU No. 1 tahun 1974.
MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa untuk kasus-kasus lain. Pada tahun 1978, MUI mendukung dengan tegas keputusan Pemerintah untuk membatasi jumlah misionaris asing di Indonesia dan mengatur bantuan asing yang diberikan lewat gereja-gereja. Kemudian pada tahun 1981, MUI mengeluarkan fatwa melarang orang Muslim mengikuti perayaan Natal.
Ketika Rancangan Undang-undang (RUU) perkawinan diserahkan pemerintah kepada DPR dan dipublikasikan kepada masyarakat pada tahun 1973, golongan Islam menanggapi dengan keras yang intinya menyatakan bahwa banyak pasal-pasal RUU tersebut yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Peraturan perkawinan yang dianut oleh golongan mayoritas diabaikan sedangkan golongan minoritas diutamakan. RUU tersebut dipandang sangat mengabaikan peraturan perkawinan Islam yang sudah melembaga, sejak Indonesia dalam pemerintahan Balanda.
Ada beberapa pasal yang mendapat sorotan tajam. Di antaranya adalah pasal 10 ayat 2:
“Perbedaan dalam hal kebangsan, suku, asal negara, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak boleh menghalangi suatu perkawinan”. (cetak miring dari penulis)

Tidak cukup dengan memberi tanggapan keras di media massa yang bahkan sudah menjadi perang pernyataan, organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi dan menguasai gedung DPR di Senayan untuk mendesak supaya pasal-pasal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dalam RUU tersebut dirubah. Karena itu, disahkannya UU Perkawinan No.1 tahun 1974 adalah perjuangan yang keras dan melelahkan bagi umat Islam.
Di antara pernyataan yang paling keras dalam menanggapi Rancangan Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama. Beliau berpendapat bahwa ada “kristenisasi dalam selubung” di dalam pasal 10 ayat 2, di mana perbedaan agama tidak menjadi halangan perkawinan. Rasyidi juga mengemukakan beberapa cara kristenisasi yang dijalankan oleh missionaries di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah gereja-gereja dibangun di tengah-tengah perkampungan umat Islam, di ladang persawahan dan di lokasi strategis di kota-kota besar melebihi kenyataan jumlah orang-orang Kristen di tempat-tempat itu. Gereja membagi-bagikan beras, pakaian, dan uang serta bea siswa sekolah kepada orang-orang Islam yang miskin; gadis-gadis Kristen, pemuda-pemuda Kristen merayu pemuda dan gadis muslim agar masuk Kristen.
Ketika Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disahkan, golongan Kristen sangat kecewa. Mereka mengeluarkan memorandum yang mengemukakan pandangan dasar mereka, memorandum tersebut berjudul, “Negara perlu memberikan ruang untuk kawin sah menurut hukum negara”. Rasyidi menanggapi memorandum tersebut, dengan menyatakan, “Memorandum tersebut hanya mengemukakan problem yang dibuat-buat dengan argumentasi yang tidak bernilai yang intinya adalah, “janganlah mengatur perkawinan umat Islam, karena pemerintah tidak ada hubungannya dengan agama, seseoarang harus boleh kawin menurut suatu hukum di luar agama”.
Jika pandangan kita arahkan pada dekade yang sebelumnya, pada akhir tahun enam puluhan, kita akan menemukan bahwa dua komunitas agama di Indonesia, Muslim dan Kristen, memang terlibat pertikaian dalam penyebaran agama. Tokoh terkemuka Islam antara lain M. Natsir, juga M. Rasyidi mengemukakan adanya rencana golongan Kristen dengan dukungan umat Kristen internasional untuk mengkristenkan Indonesia. Bahkan Muhammadiyah mengeluarkan sebuah pamflet pada tahun 1964, yang bertujuan menyadarkan kaum Muslim akan kegiatan missionaries kristen di Jawa. Pamphlet itu menekankan pada rencana kristenisasi rakyat Indonesia”. Pamphlet itu mengacu pada makalah tanpa nama yang disebarkan di Jawa berkenaan dengan konferensi Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan yang diselenggarakan di Jawa Timur pada 1962. Konferensi tersebut dituduh telah membuat rencana matang untuk mengkristenkan pulau Jawa dalam jangka waktu 20 tahun dan seluruh Indonesia dalam jangka waktu 50 tahun. Program-program tersebut antara lain pembangunan sekolah-sekolah dan anjuran perkawinan antara gadis-gadis Kristen yang beriman kuat dengan pria muslim yang beriman lemah. (cetak miring dari penulis)
Berbagai peristiwa di atas dapat mengantarkan kita pada kesimpulan tentang adanya ketegangan bahkan pertikaian antara dua komunitas agama di Indonesia, Muslim dan Kristen yang tampak berlarut-larut dan tidak kunjung menemukan penyelesaian. Secara logis, pertikaian itu akan mempengaruhi beberapa hubungan antara dua komunitas tersebut di sejumlah bidang, seperti sosial, politik, ekonomi termasuk di dalam menentukan isi fatwa. Sebab itu, bisa disimpulkan, dalam perspektif sosiologi, fatwa MUI tentang larangan perkawinan beda agama sangat dipengaruhi oleh ketegangan hubungan antara komunitas Muslim dan Kristen.

C. Perkawinan Beda Agama Masa Kini: Peluang Dan Tantangan
Hingga saat ini fatwa MUI belum dicabut. Hal ini berarti MUI sampai sekarang tetap melarang perkawinan beda agama. Sedangkan KHI, yang statusnya akan berubah menjadi Undang-Undang Terapan Peradilan Agama, dalam pembahasan rancangannya juga tetap melarang perkawinan beda agama. Sedangkan untuk UU Perkawinan No.1 tahun 1974, belum banyak terdengar suara-suara yang menginginkan perubahan UU tersebut, walaupun menurut teori hukum, durasi waktu 29 tahun sangat meniscayakan adanya evaluasi terhadap sebuah undang-undang. Belum adanya inisiatif untuk reformasi terhadap Undang-Undang Perkawinan itu boleh jadi karena kenangan lama yang menyakitkan, yang melibatkan dua komunitas agama, Muslim dan Kristen, pada saat pembahasan dan pengesahan undang-undang tersebut.
Mayoritas muslim tampak tetap mendukung larangan tersebut, hanya ada sedikit tokoh muslim yang eksplisit menolaknya. tahun 1992, misalnya, Munawir Syadzali melontarkan ide untuk membuat peraturan perkawina antar agama sebagai upaya penyempurnaan undang- undang perkawinan No. 1 tahun 1974. Menurut Munawir, undang- undang tersebut belum mengatur masalah ini secara jelas. Argumentasi yang dilontarkan Munawir adalah perkawinan dan beragama adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihambat oleh peraturan apapun. Tidak adanya peraturan perkawinan beda agama menyebabkan mereka yang melaksanakan perkawinan beda agama mencari jalan sendiri untuk mengesahkan perkawinan mereka, bahkan ada di antaranya yang kumpul kebo. Usulan Munawir tersebut mendapat dukungan dari tokoh-tokoh pemerintah, seperti Ali Said (Ketua Mahkamah Agung), Ismail Saleh (Menteri Kehakiman), dan Rudini (Menteri Dalam Negeri), serta sejumlah tokoh-tokoh Kristen dan ahli-ahli hukum. Namun tokoh-tokoh Muslim mengkritik keras usulan Munawir. Di antara mereka adalah Hasan Basri (ketua MUI), Bismar Siregar (Hakim Agung), Syeichul Hadi Permono (dosen IAIN Sunan Ampel), Harun Nasution (Profesor ilmu Kalam IAIN Syarif Hidayatullah) dan Zakiyah Daradjat (dosen dan psikolog). Argumentasi yang dikemukakan adalah problem perkawinan beda agama bukan hanya masalah hukum melainkan menyangkut keimanan. Juga, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tidak menyetujuinya.
Tahun 2001, dalam konteks rancangan perubahan fungsi Kantor Catatan Sipil, sejumlah sarjana agama termasuk Ulil Abshar Abdalla, seorang peneliti dari kalangan NU dan redaktur Kajian Islam Utan Kayu, mengemukakan pandangannya bahwa Kantor Catatan Sipil seharusnya mencatat perkawinan beda agama. “Harus dibedakan antara pemberkatan perkawinan oleh suatu agama dengan pencatatan”, demikian kata Ulil. Pendapan Ulil tersebut didukung oleh Mudji Sutrisno, seorang pastor, “Saya kira ini adalah jalan keluar terhadap kebuntuan perkawinan beda agama serta merupakan penghargaan kepada perbedaan agama, karena dengan demikian setiap orang dapat memelihara agamanya”. Budiman, dari masyarakat Budha Indonesia (MBI), juga setuju dengan Ulil. Menurut Budiman pada bulan Desember 2001, terdapat 5000 pasangan Indonesia dalam daftar tunggu pencatatan perkawinan di Singapura.
Terakhir, tahun 2004, penerbit Paramadina, menerbitkan buku berjudul Fiqh Lintas Agama. Buku tersebut menolak secara jelas larangan perkawinan beda agama, tidak saja antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim bahkan juga antara wanita muslim dengan laki-laki non muslim.

D. Kesimpulan
Fatwa MUI tentang larangan perkawinan beda agama ditetapkan berdasarkan dalil-dalil agama, sebagaimana dicantumkan dalam fatwa, peristiwa-peristiwa yang terkait dengan hubungan antar agama, terutama antara Islam dan Kristen, tampaknya pengaruh latar belakang sosialnya lebih kuat dibandingkan dalil-dalil yang digunakan. Latar belakang sosial itu adalah terjadinya ketegangan dalam penyebaran agama, antara Islam dan Kristen, yang sudah berlangsung lama. MUI dengan fatwa tersebut mengesankan hendak melindungi umat Islam dari penetrasi Kristenisasi yang sangat kuat, karena didukung dana internasional. Oleh sebab itu, tidak sebagaimana lazimnya, fatwa tersebut tidak mengambil dalil yang lebih kuat, yaitu al-Qur’an, surat al-Maidah: 5:5, yang secara eksplisit menghalalkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah, praktek sahabat dan pendapat mayoritas ulama. Di dalam hal ini terdapat perbedaan antara Fiqh dengan Fiqh siyasah. Menurut Fiqh, pernikahan antara laki-laki muslim yang kuat imannya dengan wanita kitabiyyah yang muhshanat (baik) hukumnya mubah, namun menurut siyasah di Indonesia hukumnya adalah haram.
Sampai sekarang fatwa tersebut belum dicabut, perkawinan beda agama tetap dilarang, meskipun bukan tanpa penolakandari internal Islam sendiri. Namun, kelompok yang menolak bisa dikatakan sangat kecil jika dibandingkan dengan kelompok yang mendukung. Wallahu a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an al-Karim, Tarjamah Depag.
B. KELOMPOK TAFSIR/HADIS
Al-Jaziry, (1417/1996), Kitab Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr).
Hosen, Ibrahim, (1971), Fiqh Perbandingan, (Djakarta: Yayasan Ihya’ ‘Ulumuddin Indonesia).
Hazm, Ibn, (1408/1988), al-Muhalla bi al-Asar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
Ridla, Muhammad Rasyid, (1977), Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr).
Taimiyyah, Ibn, (1398 H), Majmu’ Fatawa, (Al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Saudiyyah).
C. KELOMPOK BUKU HUBUNGAN ANTA AGAMA
Aqsha, Darul. Et all, (1995), Islam in Indonesia: A Survey of Event and Developments from 1988 to March 1993,(Jakarta: INIS).
Ali, Muhammad, (2002), “Fatwas on Interfaith Marriage in Indonesia” in STUDI ISLAMIKA, Volume 9, Number 3.
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwas of the Council of the Indonesian Ulama: a Study of Islamic Legal thought in Indonesia 1975-1988. Jakarta : INIS, 1993
Majelis Ulama Indonesia, (1994), Himapunan Ketetapan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia).
Rasyidi, Muhammad, (1976), “The Role of Christian Mission, The Indonesian Experience” dalam International Review of Mission Volume LXV No. 260 Oktober.
Soekanto, Soeryono, (1997), Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo).
Syihab, Alwi, (1998), Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan).
D. KELOMPOK UNDANG-UNDANG DAN FATWA
Undang-undang Perkawinan No. I/1974.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9/1975
Kompilasi Hukum Islam
E. KELOMPOK ARTIKEL
Hamka, “Rancangan Undang-undang Tentang Perkawinan”, Panji Masyarakat, No. 133 Tahun 1973.
Ibrahim Hosen, “Perkawinan Muslim dan Non Muslim”, Mimbar Ulama, November/Desember 1977.
Natsir, M. “Misi dan Zending Menjadikan Ummat Islam sebagai Sasarannya” Al-Djami’ah, Sunan Kalijaga Mei 1968.
Rasyidi, M. “Sekitar RUU Perkawinan, Bukankah Aku Telah Memperingatkan”, Panji Masyarakat”, 15 januari 1974.
Suara Muhammadiyah, No.3/77/1992 Februari 1992.

0 komentar:

Posting Komentar